Alissa Wahid pandang masyarakat masih alergi soal pendidikan seksual
Ketua PBNU Bidang Kesejahteraan Masyarakat Alissa Wahid memandang tak sedikit masyarakat Indonesia yang masih alergi ...
Mencegah zina ya jangan berzina, titik. Bukan dengan menikah cepat-cepat walaupun tidak siap
Jakarta (ANTARA) - Ketua PBNU Bidang Kesejahteraan Masyarakat Alissa Wahid memandang tak sedikit masyarakat Indonesia yang masih alergi soal pendidikan seksual yang semestinya harus diajarkan kepada anak-anak.
"Jadi orang Indonesia yang dewasanya alergi pendidikan seks. Dianggap pendidikan seks itu mengajarkan seksual, padahal bukan," ujar Alissa di Jakarta, Jumat.
Ia menjelaskan bahwa pendidikan seksual bukanlah mengajarkan anak soal seksualitas. Tapi menekankan kepada anak soal kesehatan reproduksi dan mencegah kekerasan seksual.
Pendidikan seksual kepada anak penting dilakukan agar mereka mengerti konsekuensi serta konsep menghargai diri.
Alissa mencontohkan, ketika anak sudah mengalami aqil baligh maka organ reproduksinya sudah berfungsi dan harus hati-hati menjaganya.
"Kamu punya fungsi reproduksi dan harus hati-hati. Tapi karena secara umum ditolak, sehingga anak-anak tidak siap," kata dia.
Kurangnya pemahaman pendidikan reproduksi ini membuat anak yang berada pada lingkungan tidak sehat, sangat rentan menjadi korban. Karena anak belum memahami dan mengendalikan diri untuk mengambil keputusan.
"Akibatnya ketika berdua bersama teman-temannya dengan gaya yang seperti itu, sehingga menyebabkan kehamilan yang tidak direncanakan, kehamilan remaja," katanya.
Menurut dia, masih tabunya pendidikan seksual ini juga berhubungan dengan tingginya angka perkawinan anak maupun nikah siri. Perkawinan anak ini kerap diidentikkan bahwa daripada berzina lebih baik menikah saja.
"Dianggap menikah urusannya mencegah zina, padahal pernikahan itu membangun keluarga bukan mencegah zina. Mencegah zina ya jangan berzina, titik. Bukan dengan menikah cepat-cepat walaupun tidak siap," kata dia.
Banyak pihak berpendapat bahwa kepercayaan diri, pergaulan bebas, tekanan sosial, serta keterbatasan ekonomi keluarga sering dianggap sebagai alasan untuk menganggap pernikahan sebagai solusi terbaik.
Namun, langkah ini justru dapat menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan fisik, mental dan memperburuk siklus kemiskinan di Indonesia.
Selain itu, usia pernikahan yang terlalu muda dapat mempengaruhi pola pengasuhan anak, yang pada akhirnya berdampak pada kondisi gizi dan kesehatan anak.
Selain itu, pernikahan dini juga meningkatkan risiko gangguan kesehatan pada perempuan, termasuk potensi terkena kanker leher rahim.
Pewarta: Asep Firmansyah
Editor: M. Tohamaksun
Copyright © ANTARA 2025