Gaza hirup udara segar lewat aliran bantuanseiring gencatan senjata
Setelah sekian lama Gaza terisolasi, masyarakatnya yang porak poranda kini bisa mendapatkan kembali kebutuhan hidup ...
Gaza (ANTARA) - Setelah sekian lama Gaza terisolasi, masyarakatnya yang porak poranda kini bisa mendapatkan kembali kebutuhan hidup vital yang sangat mereka butuhkan melalui kedatangan konvoi truk-truk pengangkut bantuan kemanusiaan yang menyeberangi perlintasan Kerem Shalom, yang dikuasai Israel, di Rafah.
Bagi 2,2 juta warga di wilayah kantong pesisir tersebut,
pasokan itu memberikan secercah harapan untuk menjalani kembali
kehidupan yang tampaknya normal di tengah kekacauan yang
menyelimuti hidup mereka selama 15 bulan terakhir.Meski rapuh,
gencatan senjata yang mulai diberlakukan pada Minggu (19/1)
pukul 11.15 waktu setempat (16.15 WIB) tersebut menandai momen
yang sangat penting dalam konflik berkepanjangan antara Hamas
dan Israel. Dimediasi oleh Mesir, Qatar, dan Amerika Serikat,
ketentuan-ketentuan dalam kesepakatan itu mewajibkan kedua
pihak menghentikan operasi militer, melakukan pertukaran
tawanan dan sandera, serta membuka perlintasan Rafah untuk
penyaluran bantuan kemanusiaan.Sebagai cahaya perdamaian
pertama yang menyinari Gaza, sekitar 555 truk pengangkut
bantuan memasuki lanskap yang telah luluh lantak tersebut.
Sebagian besar dari truk-truk itu masuk melewati Kerem Shalom,
titik perlintasan yang dijaga ketat oleh militer Israel sejak
Mei 2024, menghentikan pasokan bantuan untuk memasuki Jalur
Gaza dari Mesir.Bagi Mohammed, seorang pegawai Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) yang memantau pengiriman bantuan dari
organisasinya dan enggan menyebutkan nama lengkapnya, momen
saat melihat kedatangan truk-truk itu terasa luar biasa dan
mengharukan."Kami merindukan pergerakan semacam itu di
perlintasan ini. Saya merasa ingin menangis karena bantuan
sebesar itu akan membantu masyarakat saya mendapatkan kebutuhan
dasar mereka setiap hari," ujarnya kepada Xinhua, dengan suara
yang diliputi rasa haru.Menurut Mohammed, truk-truk bantuan itu
mengangkut berbagai pasokan esensial, termasuk makanan, air,
obat-obatan, bahan bakar, dan pakaian."UNRWA memiliki 4.000
truk bermuatan bantuan yang siap memasuki Gaza; separuh di
antaranya mengangkut makanan dan tepung," urai Badan Bantuan
PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) di platform media sosial
X. Melalui platform X, Komisaris Jenderal UNRWA Philippe
Lazzarini mengatakan badan PBB tersebut "terus bekerja di Gaza
meski ada larangan dari Israel terkait pengoperasiannya, yang
mulai diberlakukan pada 30 Januari 2025."Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO) juga berjanji mengerahkan rumah sakit keliling
dalam dua bulan mendatang untuk menopang sektor kesehatan Gaza
yang lumpuh.
Kendati demikian, status perlintasan Rafah masih belum jelas, dengan Israel menentang segala bentuk pengawasan oleh Hamas di perlintasan tersebut. Pembicaraan sedang berlangsung untuk memungkinkan Otoritas Palestina mengawasi perlintasan itu, dengan para pengamat internasional memberikan dukungan mereka
"Tidak menjadi soal siapa yang akan menguasai perlintasan itu.
Kami menginginkan hak kami untuk mendapatkan pasokan makanan
dan obat-obatan," kata Mohammed Zourob, pria Palestina yang
berbasis di Rafah."Kami mengalami kondisi yang sangat buruk
selama perang. Anak-anak kami meninggal akibat kelaparan, dan
mereka yang selamat mengalami penurunan berat badan," keluh
pria berusia 55 tahun tersebut.Zourob meyakini bahwa pembukaan
perlintasan Rafah sedikit demi sedikit dapat menghidupkan
kembali kehidupan di Gaza, mendorong masyarakat untuk menjalani
kembali kehidupan sehari-hari mereka."Kami telah menunggu
begitu lama," tutur Suha Shaath, ibu empat anak yang mengungsi
dan tinggal di Khan Younis."Berkat bantuan ini, anak-anak saya
dapat tetap merasa hangat selama malam-malam yang dingin, dan
mungkin suami saya yang terluka dapat memperoleh pengobatan
yang dia perlukan, ujarnya kepada Xinhua.Saat warga Gaza secara
perlahan mulai membangun kembali kehidupan mereka dengan
bantuan yang terlambat itu, berbagai tantangan ke depan begitu
besar dan menakutkan. Dengan sistem perawatan kesehatan yang
telah berada di ambang kehancuran, ribuan pasien masih
menghadapi hambatan yang sangat sulit diatasi untuk
meninggalkan Gaza guna menjalani pengobatan di Mesir.Bagi Ahmed
al-Arabid, seorang warga Gaza yang kaki kirinya diamputasi
akibat serangan udara Israel, perjuangan untuk mendapatkan
perhatian medis merupakan kenyataan yang pahit."Kami berharap
kesepakatan gencatan senjata itu akan tetap diterapkan, tetapi
kami telah belajar dari pengalaman sebelumnya bahwa aksi
pendudukan ini dapat melanggarnya setiap saat," tutur al-Arabid
kepada Xinhua."Saya tahu ini tidak mudah mengingat ada ribuan
pasien, namun saya harus tetap optimistis bahwa saya akan
menyeberangi perlintasan Rafah suatu hari nanti," imbuhnya.
Pewarta: Xinhua
Editor: Santoso
Copyright © ANTARA 2025