Hamas Kembali ke Jalanan setelah Perang dengan Israel, Pakar: Mereka Masih Ada, Netanyahu Gagal

Setelah lebih dari setahun bersembunyi di terowongan dan menghindari serangan udara, para pejuang Hamas berseragam kembali ke jalan-jalan Gaza.

Hamas Kembali ke Jalanan setelah Perang dengan Israel, Pakar: Mereka Masih Ada, Netanyahu Gagal

TRIBUNNEWS.COM – Puluhan pejuang memenuhi jalanan di ketika mereka menyerahkan tiga sandera kepada Palang Merah pada Minggu (19/1/2025), sebagai bagian dari kesepakatan gencatan senjata.

Mereka terlihat mengenakan balaclava dengan ikat kepala hijau yang menjadi ciri khas kelompok itu, di alun-alun Kota Gaza yang penuh sesak.

Keesokan harinya, Wakil Menteri Dalam Negeri untuk wilayah tersebut, Mahmud Abu Watfah, muncul dan berkeliling di Kota Gaza.

Ia menyatakan bahwa warga Gaza merayakan momen kemenangan.

Mengutip France24, ketika kembali turun ke jalan, pasukan mulai menarik diri dari wilayah yang padat penduduk tersebut.

Israel mundur dengan meninggalkan kehancuran, tetapi tampaknya masih bertahan, bertentangan dengan tujuan awal untuk menghancurkan kelompok itu sepenuhnya.

"Ketika Anda menetapkan pemusnahan total sebagai tujuan, tetapi masih ada satu orang yang bertahan, itu sudah bisa dianggap sebagai kegagalan," kata Yossi Mekelberg, seorang pakar Timur Tengah di Chatham House.

Hal ini menjadi masalah bagi Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, yang berjanji untuk menghancurkan Hamas.

Hamas saat menyerahkan sandera Israel
Hamas saat menyerahkan sandera Israel (Screenshot YouTube Sky News)

“Mereka (Hamas) berada di bawah serangan paling dahsyat yang pernah dialami oleh organisasi semacam itu, tetapi mereka masih ada dan terus merekrut,” ujar Mekelberg.

Israel berhasil menghancurkan struktur dan membunuh banyak pemimpin utamanya, termasuk Ismail Haniyeh dan penggantinya, Yahya Sinwar.

Namun, Mekelberg memperingatkan bahwa masih terlalu dini untuk menilai kondisi keseluruhan Hamas.

Baca juga:

Ia mengakui bahwa meskipun menderita kerugian besar, mereka tetap ada dengan segala simbol mereka, seperti ikat kepala dan topeng.

Muhammad Shehada, dari Dewan Eropa untuk Hubungan Luar Negeri, mengatakan bahwa secara khusus menargetkan pegawai negeri, polisi, dan menteri sebagai bagian dari upayanya untuk melemahkan kemampuan pemerintahan .

“Kehadiran berkelanjutan dari para pejabat dan pasukan ini menjadi simbol perlawanan, menunjukkan bahwa mereka tetap beroperasi meskipun ada serangan besar-besaran,” katanya.