Hati yang Terpaut dengan Masjid
Ilustrasi Masjid (unsplash.com) Siang ini di kantor, disela-sela istirahat, saya sedang duduk menggulir gawai di tangan, lalu lewat sebuah unggahan Instagram yang menggambarkan sebuah masjid di Bandung yang tidak hanya...
![Hati yang Terpaut dengan Masjid](https://static.republika.co.id/files/themes/retizen/img/group/favicon-rep-jogja.png)
![Image](https://static.republika.co.id/uploads/member/images/profile/thumbs/qfvzm9krad-160.png)
![](https://static.republika.co.id/uploads/member/images/news/250207175508-833.jpg)
Siang ini di kantor, disela-sela istirahat, saya sedang duduk menggulir gawai di tangan, lalu lewat sebuah unggahan Instagram yang menggambarkan sebuah masjid di Bandung yang tidak hanya berfungsi untuk mendirikan salat, tetapi juga masjid yang selalu memberikan makan bagi orang-orang yang datang ke masjid. Masjid itu sekarang dinamakan masjid makan-makan.
Tak sadar saya pun merenung dan mengingat perjalanan hidup saya. Ingatan saya kembali pada saat saya kecil dahulu, di mana saya selalu pergi ke masjid setelah jam sekolah berakhir. Bahkan saking seringnya, setiap salat lima waktu, saya selalu datang berbarengan dengan marbot.
Saat itu saya sedang duduk di sekolah dasar. Masjid yang kerap saya datangi tidak jauh dari sekolah. Keinginan itu sebenarnya didorong juga oleh petuah guru ngaji saya kala itu.
“Orang yang pergi dan salat di masjid pahalanya besar,” ujarnya saat itu.
“Dua puluh derajat jika salat berjamaah,” tutupnya.
Apa yang saya lakukan saat pergi ke masjid adalah berlomba-lomba untuk datang terlebih dahulu bersama teman-teman. Berwudhu, lalu mengumandangkan azan. Akhirnya, sayapun mulai belajar azan dari teman-teman atau dari muazin yang sering mengumandangkan azan salat lima waktu.
Pernah suatu hari, saya salah melantunkan azan magrib. Sayapun ditegur oleh imam masjid. Sakit hati sebenarnya, ditegur kala itu. Tetapi saya anggap angin lalu dan tidak pernah sekalipun mengendurkan keinginan saya untuk terus belajar mengumandangkan azan di masjid kala itu.
Tempat mengadu
Beranjak dewasa, ternyata saya tidak serajin waktu kecil dahulu. Saya akui, saya jarang datang ke masjid. Bahkan ke masjid hanya seminggu sekali, saat salat Jumat. Pada masa-masa yang sangat kelam dan sering dirundung masalah, kadang sesekali saya datang ke masjid.
Saya merasa masjid menawarkan kedamaian. Ada rasa yang sulit dijelaskan setiap kali melangkahkan kaki ke masjid. Ada kedamaian yang melingkupi hati, seperti sebuah pelukan hangat yang membuat diri merasa diterima.
Begitulah manusia, jika ditimpa malapetaka dia akan mendekat pada yang kuasa. Jika punya keinginan, dia mencoba merayu sang pemberi wahyu. Sebagaimana Firman Allah Ta’ala:
“Dan apabila Kami berikan nikmat kepada manusia, dia berpaling dan menjauhkan diri (dengan sombong); tetapi apabila ditimpa malapetaka maka dia banyak berdoa.” (QS. Fussilat Ayat 51)
Pernah suatu hari, menjelang lulus SMA, saya ingin sekali lulus dan masuk universitas negeri. Doa untuk masuk tempat kuliah yang saya inginkan terus saya panjatkan, saya ulangi setiap kali shalat lima waktu di masjid. Namun sayang, tahun itu saya tidak lolos masuk universitas negeri. Sayapun mulai menjauh dari masjid.
Akhirnya, saya kuliah di universitas swasta. Namun saya tidak berhenti berdoa agar bisa masuk universitas negeri, walaupun jarang dilakukan di masjid. Setahun kemudian saya masuk universitas negeri. Namun, gegar budaya menghinggapi saya ketika kuliah di universitas negeri.
Saya merasa salah memilih, saya merasa menjadi korban “masa pembinaan” senior yang saat itu masih marak di universitas negeri. Sayapun kembali ke masjid, mengadu pada yang maha kuasa. Saya merasa dizholimi. Harga diri terinjak dan jatuh dari tempat yang paling tinggi.
Jika tiba di masjid kampus, saya merasa beban dunia seketika terhempas ketika mendengar alunan azan, mengikuti salat jama’ah dan mengikuti pengajian-pengajian yang rutin dilakukan di masjid. Setahun menjadi jamaah masjid kampus saya merasa kembali menjadi orang yang baru.
Pun begitu ketika diterima di tempat kerja pertama kali, saya gugup. Sambil menunggu panggilan wawancara, tempat pertama yang saya kunjungi di tempat wawancara itu adalah masjid. Saya mengadu, saya meminta agar Allah menolong saya, menaikkan derajat saya dan meloloskan saya untuk mendapatkan pekerjaan pertama.
Mungkin, hati saya memang selalu terpaut dengan masjid, apalagi dikala susah, dikala gundah dan dikala hendak menyerah, untuk menemui Sang pencipta, untuk mengadu dan mendapatkan kedamaian.
Memperkuat ikatan
Hari ini setelah banyak berganti pekerjaan, berpindah-pindah tempat kerja, salat di masjid adalah waktu yang sangat dinantikan. Seakan-akan pekerjaan di kantor hanyalah waktu untuk menunggu salat di masjid.
Mudah-mudahan ikatan ini terus konsisten. Bukan hanya waktu bekerja, tetapi saat pergi tugas ke luar kota, di rumah dan juga di tempat di mana saja saya berada. Mudah-mudahan Allah Ta’ala mudahkan hati ini tergerak untuk terus terpaut dalam melaksanakan salat wajib tepat waktu di masjid.
Semoga Allah memudahkan hati ini agar selalu senang berada di masjid, berusaha memakmurkannya dan selalu menegakkan salat berjamaah di dalamnya dan menunaikan hak-haknya. Bukannya tempat yang paling dicintai oleh Allah di dunia ini adalah masjid-masjidNya?
Bukankah Rasulullah salallahu a’laihi wa salam pernah bersabda, “Ada tujuh golongan yang dinaungi kelak. Dan satunya adalah orang yang hatinya terpaut dengan masjid. Seorang pemuda yang hatinya terikat dengan masjid, orang-orang itulah yang akan mendapatkan perlindungan dari Allah saat kiamat kelak.” (HR. Bukhari).
Untuk memperkuat ikatan, hal paling mudah adalah memilih tempat tinggal yang dekat dengan masjid. Banyak komentar negatif di media sosial tentang kenyataan rumah yang dekat dengan masjid. Terganggu oleh pelantang suara lah, terganggu dengan jemaah pengajian lah, terganggu dengan orang-orang yang parkir salat jumat di masjid lah.
Namun bagi saya, rumah yang dekat dengan masjid itu justru mampu memperkuat ikatan iman. Bukan saja karena dianggap sebagai rumah anggota DKM, Dekat Ke Masjid.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.