Kebijakan Tax Amnesty Dinilai Tak Adil dan Hanya Menguntungkan Pengemplang Pajak
Celios mengkritik kebijakan berulang tax amnesty yang menurutnya menyebabkan pengusaha mengemplang pajak dan tidak menguntungkan negara.
Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda menilai kebijakan atau pengampunan pajak sebagai sesuatu yang tak adil dan hanya menguntungkan pengemplang pajak. Namun pemerintah justru berencana kembali menggelar program tax amnesty.
“Saya sudah sampaikan bahwa pelaku usaha akan melakukan cara untuk membuat pemerintah melakukan tax amnesty kembali,” kata Huda kepada Katadata.co.id, Rabu (20/11).
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akan menggelar program tax amnesty jilid III. Rencana itu terungkap dari hasil rapat Panja Program Legislasi Nasional RUU Prioritas yang digelar Baleg DPR, pada Senin (18/11). Berdasarkan hasil rapat tersebut, program pengampunan pajak ini ternyata masuk daftar draft usulan Prolegnas RUU Prioritas 2025.
Huda memperkirakan dampak pengampunan pajak akan membuat orang menunggu tax amnesty kembali. Dengan begitu, kasus pengemplangan akan terjadi kembali.
“Mereka akan mengemplang pajak lagi, sembari menunggu program tax amnesty lagi. Begitu seterusnya. Mereka tidak akan pernah benar-benar patuh selama masih ada peluang untuk diampuni dosa pajak mereka,” ujar Huda.
Dia mencatat program tax amnesty jilid I dan II tidak pernah mencapai target walau pemerintah mendapatkan penerimaan yang cukup banyak. Bahkan restitusi aset dan penerimaan pajak masih jauh dari target sehingga tidak pernah efektif.
Di saat bersamaan, pemerintah juga seakan-akan tengah menantang masyarakat yang menolak kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% pada 2024. "Namun pemerintah dan legislatif ingin mengampuni pajak orang kaya sebagai pengemplang pajak. Jadi ini kebijakan yang culas,” kata Huda.
Tax Amnesty Tak Menguntungkan Negara
Direktur Kebijakan Publik Celios, Media Wahyudi Askar menilai, program pengampunan pajak tidak menguntungkan negara. Hal itu terlihat pada penerapan tax amnesty jilid I pada 2016-2017 dan jilid II pada 2022.
Media menjelaskan, nilai harta terungkap pada pengampunan pajak jilid I. Namun komitmen repatriasi hanya memperoleh Rp 147 triliun dari target Rp 1.000 triliun.
Hasil serupa juga pada perolehan uang tebusan sebesar Rp 129 triliun, padahal negara menargetkan sebesar Rp 165 triliun. “Ini menunjukkan bahwa penerapan pengampunan pajak belum sepenuhnya mencapai target yang ditetapkan pemerintah,” kata Media.
Bahkan program tax amnesty jilid II tak memberi hasil yang memuaskan. “Nilai harta pada pengampunan pajak jilid II yang diungkap juga terbilang jauh, hanya Rp 1.250,67 triliun atau sekitar 25,7% dibandingkan jilid sebelumnya,” ujar Media.
Pengampunan Pajak Jadi Kebijakan yang Tak Adil
Media juga menyebut program pengampunan pajak tidak adil, khususnya bagi wajib pajak yang jujur dan patuh. “Pengampunan pajak berpotensi dimaknai sebagai kebijakan yang tidak adil,” kata Media.
Dengan begitu, pengampunan pajak berpotensi menguntungkan wajib pajak kaya yang memiliki pendapatan atau aset yang signifikan. Khususnya kekayaan yang tidak diungkapkan sehingga dapat memperburuk ketimpangan dan merusak sistem pajak.
Selain itu, tidak semua wajib pajak bisa memanfaatkan amnesty, terutama masyarakat yang masih kekurangan sumber daya atau pengetahuan. Kondisi ini menciptakan ketimpangan dan hanya menguntungkan kalangan tertentu.