Kunci Jawaban Bahasa Indonesia Kelas 10 Halaman 179 dan 180 Kurikulum Merdeka Edisi Revisi
Berikut kunci jawaban Bahasa Indonesia kelas 10 halaman 179 dan 180 Kurikulum Merdeka Edisi Revisi,
Berikut kunci jawaban Bahasa Indonesia kelas 10 halaman 179 dan 180 Kurikulum Merdeka Edisi Revisi,
Canva/Tribunnews
Berikut kunci jawaban Bahasa Indonesia kelas 10 halaman 179 dan 180 Kurikulum Merdeka Edisi Revisi,
TRIBUNNEWS.COM - Berikut kelas 10 halaman 179 dan 180 Edisi Revisi.
Pada soal kelas 10 halaman 179 dan 180 , siswa diminta untuk menemukan ide pokok dan ide penjelas dalam teks biografi.
Sebelum melihat kelas 10 halaman 179 dan 180 , siswa diharapkan dapat mengerjakan soal secara mandiri.
Tribunnews.com tidak bertanggung jawab atas kesalahan kelas 10 halaman 179 dan 180 .
Setelah memahami penjelasan tersebut, kalian dapat berlatih menemukan ide pokok dan ide penjelas dalam teks biograi melalui kegiatan menyimak. Guru atau salah satu teman sekelompok dapat membacakan teks biograi KiHadjar Dewantara: Pemikiran dan Perjuangannya di atas! Pahami dan catat informasi penting di dalamnya! Tentukan ide pokok dan ide penjelas dalam teks tersebut! Hasil kegiatan tersebut dapat didiskusikan dalam kelompok dan dipresentasikan di depan kelas.
Tabel 5.2 Isian Ide Pokok dan Ide Penjelas Teks Biografi
Paragraf 1
- Ide pokok: Nama Ki Hadjar Dewantara bukanlah nama pemberian orang tuanya sejak lahir.
- Ide penjelas:
- Nama aslinya ialah Raden Mas Soewardi Soerjaningrat yang lahir di Yogyakarta, tanggal 2 Mei 1889.
- Ia dibesarkan di lingkungan keluarga keraton Yogyakarta.
- Saat berusia 40 tahun menurut hitungan tahun Caka, barulah berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara.
- Semenjak itu, Ki Hadjar Dewantara tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya.
- Hal ini dimaksudkan agar dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun hatinya.
- Ki Hadjar Dewantara menamatkan Sekolah Dasar di ELS (Sekolah Dasar Belanda) dan melanjutkan sekolahnya ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera).
- Lantaran sakit, sekolahnya tersebut tidak dapat ia selesaikan.
Paragraf 2
- Ide pokok: Pada masanya, Ki Hadjar Dewantara dikenal sebagai penulis andal.
- Ide penjelas:
- Kemampuan menulisnya terasah ketika ia bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar, antara lain Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara.
- Tulisan-tulisannya sangat komunikatif, tajam, dan patriotik sehingga mampu membangkitkan semangat antikolonial bagi pembacanya.
- Selain bekerja sebagai seorang wartawan muda, Ki Hadjar Dewantara juga aktif dalam berbagai organisasi sosial dan politik.
- Pada tahun 1908, Ki Hadjar Dewantara aktif di seksi propaganda Boedi Oetomo untuk menyosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara.
- Kemudian, bersama Douwes Dekker (Dr. Danudirdja Setyabudhi) dan dr. Tjipto Mangoenkoesoemo nantinya akan dikenal sebagai Tiga Serangkai.
Paragraf 3
Baca juga:
- Ide pokok: Pada tanggal 25 Desember 1912, mereka mendirikan Indische Partij (partai politik pertama yang beraliran nasionalisme Indonesia) yang bertujuan mencapai Indonesia merdeka.
- Ide penjelas:
- Selain itu, pada bulan November 1913, Ki Hadjar Dewantara membentuk Komite Bumipoetra yang bertujuan untuk melancarkan kritik terhadap Pemerintah Belanda.
- Salah satunya adalah dengan menerbitkan tulisan berjudul “Als Ik Eens Nederlander Was” (Seandainya Aku Seorang Belanda) dan “Een voor Allen maar Ook Allen voor Een” (Satu untuk Semua, te tapi Semua untuk Satu Juga).
- Kedua tulisan tersebut menjadi tulisan terkenal hingga saat ini.
- Tulisan “Seandainya Aku Seorang Belanda” dimuat dalam surat kabar de Expres milik dr. Douwes Dekker.
Paragraf 4
- Ide pokok: Akibat aktivitas dan tulisannya itu, pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jenderal Idenburg menjatuhkan hukuman pengasingan terhadap Ki Hadjar Dewantara.
- Ide penjelas:
- Douwes Dekker dan Cipto Mangoenkoesoemo, rekan seperjuangannya, menerbitkan tulisan yang bernada membela Ki Hadjar Dewantara.
- Mengetahui hal ini, Belanda pun memutuskan untuk menjatuhi hukuman pengasingan bagi keduanya.
- Douwes Dekker dibuang di Kupang sedangkan Cipto Mangoenkoesoemo dibuang ke Pulau Banda.
- Namun, mereka menghendaki dibuang ke negeri Belanda karena di sana mereka dapat mempelajari banyak hal daripada di daerah terpencil.
- Akhirnya, mereka diizinkan ke negeri Belanda sejak Agustus 1913 sebagai bagian dari pelaksanaan hukuman.
Paragraf 5
- Ide pokok: Di tanah air, Ki Hadjar Dewantara semakin mencurahkan perhatiannya di bidang pendidikan sebagai bagian dari alat perjuangan meraih kemerdekaan.
- Ide penjelas:
- Bersama rekan-rekan seper juangannya, dia pun men dirikan sebuah perguruan yang bercorak nasional yang diberi nama Nationaal Onderwijs Instituut Taman Siswa (Perguruan Nasional Taman Siswa) pada 3 Juli 1922.
- Taman Siswa ialah suatu lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan bagi para pribumi jelata untuk dapat memperoleh hak pendidikan, seperti halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda.
- Perguruan ini sangat menekankan pendidikan rasa kebangsaan kepada peserta didik agar mereka mencintai bangsa dan tanah air serta berjuang untuk memperoleh kemerdekaan.
Paragraf 6
- Ide pokok: Selama aktif di Taman Siswa, Ki Hadjar Dewantara juga tetap rajin menulis.
- Ide penjelas:
- Tema tulisannya beralih dari nuansa politik ke pendidikan dan kebudayaan berwawasan kebangsaan.
- Melalui tulisan-tulisan itulah dia berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia.
- Kegiatan menulisnya ini terus berlangsung hingga zaman Pendudukan Jepang.
- Saat Pemerintah Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat (Putera) dalam tahun 1943, Ki Hadjar ditunjuk untuk menjadi salah seorang pimpinan bersama Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, dan K.H. Mas Mansur.
Paragraf 7
- Ide pokok: Setelah kemerdekaan Indonesia berhasil direbut dari tangan penjajah dan stabilitas pemerintahan sudah terbentuk, Ki Hadjar Dewantara kemudian dipercaya oleh Presiden Soekarno untuk menjadi Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama.
- Ide penjelas:
- Melalui jabatannya ini, Ki Hadjar Dewantara semakin leluasa untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.
- Pada tahun 1957, Ki Hadjar Dewantara mendapatkan gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Gajah Mada.
- Dua tahun setelah mendapat gelar Doctor Honoris Causa itu, tepatnya pada tanggal 28 April 1959, Ki Hadjar Dewantara meninggal dunia di Yogyakarta dan dimakamkan di sana.
Paragraf 8
- Ide pokok: Untuk mengenang jasa-jasa dan melestarikan nilai-nilai semangat perjuangan Ki Hadjar Dewantara, pihak penerus perguruan Taman Siswa mendirikan Museum Dewantara Kirti Griya, Yogyakarta.
- Ide penjelas:
- Museum ini memamerkan benda-benda atau karya-karya Ki Hadjar Dewantara sebagai pendiri Taman Siswa dan kiprahnya dalam kehidupan berbangsa.
- Koleksi museum yang berupa karya tulis atau konsep dan risalah-risalah penting serta data surat-menyurat semasa hidup Ki Hadjar sebagai jurnalis, pendidik, budayawan, dan sebagai seorang seniman telah direkam dalam mikrofilm dan dilaminasi atas bantuan Badan Arsip Nasional
Paragraf 9
- Ide pokok: Kini, nama Ki Hadjar Dewantara diabadikan sebagai seorang tokoh dan pahlawan pendidikan (Bapak Pendidikan Nasional).
- Ide penjelas:
- Ajarannya, yakni tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan), ing madya mangun karsa (di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa), dan ing ngarsa sung tulada (di depan memberi teladan) akan selalu menjadi dasar pendidikan di Indonesia.
- Selain itu, tanggal dan bulan kelahirannya, 2 Mei, dijadikan hari Pendidikan Nasional.
- Bahkan, pada tanggal 28 November 1959 Ki Hadjar Dewantara juga ditetapkan sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional melalui Surat Keputusan Presiden RI No. 305 tahun 1959.
*) Disclaimer:
- Artikel ini hanya ditujukan kepada orang tua untuk memandu proses belajar anak.
- Sebelum melihat , siswa harus terlebih dahulu menjawabnya sendiri, setelah itu gunakan artikel ini untuk mengoreksi hasil pekerjaan siswa.
(Tribunnews.com/Nurkhasanah)
-
"); $(".loading").show(); var newlast = getLast;
$.getJSON("https://api.tribunnews.com/ajax/latest_section/?callback=?",
{start: newlast,section:'171',img:'thumb2'}, function(data) {
$.each(data.posts, function(key, val) { if(val.title){ newlast
= newlast + 1; if(val.video) { var vthumb = ""; var vtitle = "
"; } else { var vthumb = ""; var vtitle = ""; } if(val.thumb) {
var img = "
- "+img+" "); } else{ $("#latestul").append('
- '); $("#test3").val("Done"); return false; } }); $(".loading").remove(); }); } else if (getLast > 150) { if ($("#ltldmr").length == 0){ $("#latestul").append('
- '); } } } }); }); function loadmore(){ if ($("#ltldmr").length > 0) $("#ltldmr").remove(); var getLast = parseInt($("#latestul > li:last-child").attr("data-sort")); $("#latestul").append(""); $(".loading").show(); var newlast = getLast ; if($("#test3").val() == 'Done'){ newlast=0; $.getJSON("https://api.tribunnews.com/ajax/latest", function(data) { $.each(data.posts, function(key, val) { if(val.title){ newlast = newlast + 1; if(val.video) { var vthumb = ""; var vtitle = " "; } else { var vthumb = ""; var vtitle = ""; } if(val.thumb) { var img = "
- "+img+" "); }else{ return false; } }); $(".loading").remove(); }); } else{ $.getJSON("https://api.tribunnews.com/ajax/latest_section/?callback=?", {start: newlast,section:sectionid,img:'thumb2',total:'40'}, function(data) { $.each(data.posts, function(key, val) { if(val.title){ newlast = newlast+1; if(val.video) { var vthumb = ""; var vtitle = " "; } else { var vthumb = ""; var vtitle = ""; } if(val.thumb) { var img = "
- "+img+" "); }else{ return false; } }); $(".loading").remove(); }); } }