Pakar industri nilai kontrol ekspor chip hambat perkembangan AI global
Kontrol ekspor baru pemerintahan Biden terhadap model kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) dan cip komputer ...
Sacramento, AS (ANTARA) - Kontrol ekspor baru pemerintahan Biden terhadap model kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) dan cip komputer canggih menghadapi kritikan yang memuncak dari para pakar industri, yang khawatir kontrol tersebut akan menghambat perkembangan AI secara global.Setelah pemerintahan Biden mengumumkan kerangka kerja tersebut pada Senin (13/1), Biro Industri dan Keamanan dari Departemen Perdagangan Amerika Serikat (AS) merilis kontrol ekspor terbaru untuk barang komputasi canggih pada Rabu (15/1), termasuk kontrol ekspor pertama untuk model AI dan persyaratan lisensi global untuk cip komputer canggih.Perubahan ini berlaku efektif sejak Senin, tetapi kewajiban untuk memenuhi persyaratan lisensi baru itu akan mulai diterapkan pada 13 Mei. Tanggal itu juga merupakan batas waktu untuk periode pengajuan komentar publik.Ditujukan untuk mengatasi apa yang disebut sebagai masalah keamanan nasional, aturan ini membatasi ekspor teknologi dan cip AI canggih ke para pesaing strategis. Hal ini menimbulkan kekhawatiran yang memerlukan perhatian segera tentang dampaknya terhadap daya saing AS dan ekosistem AI global."Pemerintah AS menghabiskan banyak waktu membicarakan pentingnya bersikap terbuka dan pendekatan bawah ke atas (bottom-up), desentralisasi di banyak area internet dan sistem teknologi, tetapi dalam hal AI, mereka tampaknya mengambil langkah yang sebaliknya," kata Daniel Castro, selaku wakil presiden di Information Technology and Innovation Foundation (ITIF), wadah pemikir yang berbasis di Washington DC, sebagaimana diwartakan Xinhua pada Senin (20/1).Dia mengatakan dalam diskusi panel virtual yang diselenggarakan oleh ITIF pada Kamis (16/1) bahwa dirinya telah berbicara dengan "beberapa orang di berbagai negara" tentang aturan yang diusulkan tersebut.
"Mereka terkejut dengan kebijakan ini dan bagaimana kebijakan itu menunjukkan bahwa AS memandang mereka sebagai salah satu dari negara-negara tingkat kedua (tier-two)," katanya.Kerangka kerja ini menciptakan sistem baru yang kompleks di mana hanya 18 ekonomi "terpercaya", termasuk para sekutu dekat AS seperti Inggris, Jepang, dan Jerman, yang akan dikecualikan dari pembatasan ekspor yang ketat. Mereka termasuk dalam kelompok "tingkat satu" (tier-one).Kelompok "tingkat kedua" mencakup sebagian besar dunia, termasuk Israel, Singapura, Brasil, India, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab. Negara-negara ini akan menghadapi pembatasan yang signifikan dengan batasan ketat berdasarkan negara terkait impor cip.Pejabat di Polandia dan Israel telah memprotes kerangka kerja baru tersebut. Wakil Perdana Menteri sekaligus Menteri Digitalisasi Polandia Krzysztof Gawkowski menyebut kebijakan tersebut "tidak dapat dipahami dan tidak didasarkan pada alasan substantif apa pun."Sebuah subkomite parlemen Israel pada Rabu menyerukan pertemuan mendesak untuk membahas bagaimana batasan baru ini berpotensi menghambat perkembangan AI mereka dan "bagaimana kontrol terhadap cip dan model AI ini menciptakan preseden baru, khususnya di dunia teknologi," kata Castro.
Namun, dia menambahkan bahwa pendekatan ini "terasa familiar,"
dengan perang kripto pada 1990-an sebagai contohnya.
"Saya pikir ini bukanlah hal yang belum pernah terjadi
sebelumnya. Sayangnya, yang mungkin belum pernah terjadi
sebelumnya adalah kita lupa bahwa pendekatan itu tidak berhasil
dalam upaya-upaya sebelumnya, perang kripto adalah salah
satunya," kata James Lewis, wakil presiden senior di Center for
Strategic and International Studies (CSIS).Dia menyinggung
contoh lain dari kontrol ekspor AS terhadap teknologi satelit,
khususnya satelit pengindraan jauh.Untuk mencegah teknologi ini
menyebar, AS memberlakukan kontrol ekspor yang ketat terhadap
satelit pengindraan jauh dan teknologi terkait. Pembatasan ini
berdampak negatif pada perusahaan-perusahaan AS di industri
satelit, membatasi kemampuan mereka untuk bersaing secara
global.
Sebagai akibat dari pembatasan ini, negara-negara lain mengembangkan industri satelit mereka sendiri untuk mengisi kekosongan tersebut."Jadi, saya melihat ini lebih sebagai pemberian insentif bagi persaingan asing untuk menciptakan pengganti, yang secara tidak langsung merusak kepemimpinan teknologi AS," kata Lewis. "Kita selalu mengatakan bahwa kita mendukung perdamaian dan harmoni serta berbagi teknologi global, tetapi saat itu benar-benar diterapkan, kita lebih cenderung menghindari risiko."
Penerjemah: Xinhua
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2025