Pengamat Energi : Penyaluran Elpiji 3 Kg Tidak Boleh Diperlakukan Seperti Barang Non Subsidi
Kata pengamat seharusnya penjualan barang bersubsidi seperti elpiji 3 kilogram (kg) tidak boleh diperlakukan seperti barang non subsidi.
![Pengamat Energi : Penyaluran Elpiji 3 Kg Tidak Boleh Diperlakukan Seperti Barang Non Subsidi](https://asset-2.tstatic.net/tribunnews/foto/bank/images/PENJUALAN-ELPIJI-3-kg-adalah.jpg)
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat energi, Sofyano Zakaria mengatakan seharusnya penjualan barang bersubsidi seperti elpiji 3 kilogram (kg) tidak boleh diperlakukan seperti barang non subsidi.
Saat elpiji bersubsidi ternyata diperdagangkan secara bebas maka harusnya pemerintah dan aparat penegak hukum segera menyikapi karena berkait dengan subsidi negara.
"Mata rantai distribusi atau penyaluran elpiji 3 kg subsidi ditetapkan hanya lewat agen dan pangkalan elpiji 3 kg yang terdaftar resmi di Pertamina adalah mutlak harus dipertahankan karena terbukti paling bisa diawasi dan dikontrol oleh pemerintah dan atau Badan Pemeriksa Keuangan RI," kata Sofyano Zakaria melalui keterangan tertulis, Sabtu (8/3/2025).
Dikatakannya, saat ada pihak yang menjualbelikan elpiji 3 kg di luar mata rantai distribusi yang ditetapkan dalam peraturan yang berlaku yakni agen dan pangkalan elpiji dapat dikatakan sebagai perbuatan ilegal.
Ia juga mendesak ketentuan Pemerintah dalam hal ini Perpres 104 Tahun 2007 yang menetapkan bahwa pengguna yang berhak atas elpiji 3 kg adalah Rumah Tangga dan Usaha Mikro harus ditegakkan oleh pemerintah dan aparat penegak hukum.
"Maka ketika ada pihak yang bukan rumah tangga atau badan usaha mikro yang terbukti bisa membeli dan atau memperdagangkan elpiji bersubsidi harusnya diambil tindak tegas," katanya.
Soal penambahan pangkalan
Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik (PUSKEPI) menyebut penambahan baru pangkalan elpiji 3 kilogram mutlak diperlukan agar masyarakat yang berhak hanya bisa dan boleh membeli elpiji bersubsidi pada pangkalan resmi yang terdata di badan usaha yang ditugaskan pemerintah yakni Pertamina.
"Agar masyarakat bisa membeli elpiji sesuai HET yang berlaku maka Pemerintah sudah harus menyiapkan adanya pangkalan di tiap wilayah rukun Tetangga(RT) atau paling tidak terdapat 1 pangkalan yang melayani maksimal setiap 100 rumah atau 100 kepala keluarga," kataya.
Persyaratan untuk menjadi pangkalan, kata dia harus semudah mungkin misalnya hanya cukup dengan memiliki KTP, tempat Jualan yang menetap bukan bergerak, surat Keterangan domisili dari kelurahan atau desa, rekening tabungan bank, tabung gas sesuai alokasi yang diberikan, alat timbangan dan Gas Detector.
Pemerintah perlu mendukung penuh berjalannya program One Village One Outlet (OVOO) yang telah dijalankan Pertamina dan mendorong Pertamina untuk mewujudkan Program merata di tiap desa dan dusun yang ada negeri ini yang sudah laksanakan konversi mitan ke elpiji 3kg.
"Terkait soal HET pangkalan ditetapkan pemerintah daerah, maka Menteri ESDM sudah saat menjalankan perannya sebagai lembaga tertinggi yang memberikan yang berhak memberikan persetujuan final terhadap besaran kenaikan HET Pangkalan tersebut.
"Jadi kewenangan memutuskan naik atau tidaknya HET Pangkalan harus tetap ada ditangan Menteri ESDM bukan Pemda," katanya.
Ia menambahkan, saatnya pemerintah mengkoreksi besaran harga tebus elpiji 3kg dari agen ke Pertamina sebesar Rp11.588.-/tabung yang tidak pernah dikoreksi sejak diluncurkannya program konversi minyak tanah ke elpiji 3 kilogram.
"Koreksi harga tebus itu tidak harus dengan menaikan besaran HET nasional karena kenyataannya HET Pangkalan yang ditetapkan Pemda sudah naik jauh dari HET nasional yang rata rata sekitar sebesar 35 persen," katanya.