Perkuat Ekonomi Berkelanjutan, DSN MUI Dorong Optimalisasi Keuangan Syariah
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Dewan Pengurus Harian DSN MUI, Siti Ma’rifah, menegaskan pentingnya optimalisasi keuangan syariah dalam mewujudkan ekonomi berkelanjutan. Menurutnya, distribusi zakat dan wakaf saat ini lebih banyak berfokus...
![Perkuat Ekonomi Berkelanjutan, DSN MUI Dorong Optimalisasi Keuangan Syariah](https://static.republika.co.id/uploads/images/inpicture_slide/esg_230928213038-225.jpeg)
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Dewan Pengurus Harian DSN MUI, Siti Ma’rifah, menegaskan pentingnya optimalisasi dalam mewujudkan ekonomi berkelanjutan. Menurutnya, distribusi zakat dan wakaf saat ini lebih banyak berfokus pada kesalehan individu, tetapi masih kurang optimal dalam membangun kesalehan sosial.
"Kesalehan sosial ini seharusnya bisa dibangun melalui program-program sinergi antara wakaf dan zakat," ujarnya dalam Sustainable Islamic Economic Summit, Beyond Halal The Thayyib Economy for Sustainable Livelihood yang diikuti secara daring, Kamis (13/2/2025).
Ia juga menyoroti pentingnya menjaga ekosistem untuk generasi mendatang. Sebagai negara dengan mayoritas penduduk muslim, Indonesia memiliki tanggung jawab besar dalam memanfaatkan sumber daya alam secara berkelanjutan.
Ma’rifah menekankan, prinsip keberlanjutan harus menjadi pertimbangan utama dalam industri keuangan syariah. Saat ini, 60–70 persen perputaran uang terjadi melalui perbankan, sehingga bank memiliki peran besar dalam menentukan industri mana yang layak mendapatkan pembiayaan.
Regulasi terkait keuangan berkelanjutan, seperti POJK Nomor 51 dan 53 Tahun 2017, telah ada. Namun, tantangan bagi bank syariah adalah bagaimana mempertahankan keberlanjutan tersebut di masa depan. Selain itu, digitalisasi menjadi faktor penting dalam keberlanjutan. Generasi Z yang sangat menguasai teknologi akan mendorong transformasi digital dalam industri keuangan.
"Saat ini sudah ada praktik digitalisasi di dunia medis, misalnya dokter yang mulai mengurangi penggunaan kertas," tambahnya.
Ia juga menyoroti bahwa sektor keuangan berkelanjutan memiliki potensi besar karena meningkatnya kesadaran lingkungan di kalangan konsumen dan investor.
Indonesia, lanjutnya, memiliki visi besar untuk menjadi pusat industri halal dunia. Sebelumnya, Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin telah menetapkan milestone untuk menjadikan Indonesia sebagai Global Halal Hub. Namun, lanjut Ma’rifah, Indonesia masih tertinggal dalam pengembangan industri halal.
"Indonesia baru mulai mengembangkan industri halal sejak tahun 1991, sementara negara lain sudah sejak 1963," ungkapnya.
Tantangan lainnya adalah dominasi produk halal oleh negara lain. "Sebagai contoh, ayam potong bersertifikasi halal yang dikonsumsi jamaah haji Indonesia ternyata berasal dari Brazil," ujarnya.
Oleh karena itu, perlu ada langkah strategis untuk memperkuat industri halal dalam negeri. Beberapa langkah konkret yang bisa dilakukan antara lain adalah fokus pada sektor unggulan, seperti makanan dan minuman halal serta fesyen muslim.
Kemudian diperlukan pula penguatan keuangan syariah, baik komersial maupun sosial serta pengembangan pasar uang syariah. Tak hanya itu, peningkatan literasi dan edukasi keuangan syariah di tingkat nasional dan internasional juga harus dilakukan dan terus mengembangkan SDM agar lebih berkualitas.
Sebagai upaya konkret dalam investasi berkelanjutan, penerbitan pada tahun 2020 menjadi langkah signifikan dalam mendukung pembangunan berkelanjutan. Fatwa DSN-MUI Nomor 137 Tahun 2020 juga telah memberikan landasan bagi pengembangan sukuk hijau sebagai instrumen keuangan berbasis syariah yang berkontribusi pada perlindungan lingkungan dan kesejahteraan sosial.