Purnawirawan TNI AD Didakwa Rugikan Negara Rp 64 Miliar dalam Kasus Kredit Fiktif BRIguna

Anggota TNI AD (Purn) Dwi Singgih Hartono didakwa memalsukan data calon debitur untuk permohonan kredit BRIguna merugikan negara sekitar Rp 64,74 m.

Purnawirawan TNI AD Didakwa Rugikan Negara Rp 64 Miliar dalam Kasus Kredit Fiktif BRIguna

TEMPO.CO, Jakarta - Pembantu Letnan Dua atau Pelda (Purn) Dwi Singgih Hartono didakwa telah memalsukan data pengajuan permohonan kredit BRIguna sejak 2016 hingga 2023, hingga merugikan negara kurang lebih Rp 64,74 miliar. Singgih memalsukan data orang-orang yang dia sebut sebagai anggota di Bekang Kostrad Cibinong, Bogor, Jawa Barat untuk diajukan sebagai calon debitur BRIguna. 

Singgih menyalahgunakan kewenangannya yang saat itu bertugas sebagai Juru Bayar dan Petugas Pengelolaan Administrasi Belanja Pegawai di Bekang Kostrad Cibinong. Surat dakwaan terhadap Singgih dan terdakwa lainnya dibacakan bergantian oleh jaksa koneksitas dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta Pusat, pada Kamis, 13 Februari 2025. 

Kasus korupsi ini terjadi dalam dua perkara yang disidang pada hari yang sama dipimpin oleh hakim ketua Suparman. Perkara pertama terjadi di Unit Menteng Kecil dengan empat orang terdakwa. "Telah mengakibatkan kerugian negara cq PT BRI (Persero) Unit Menteng Kecil setidak-tidaknya sejumlah Rp 57.048.784.586, sesuai dengan LHAPKKN dari BPKP Nomor PE.03.03/SR/SP-1158/D5/02//2024 tanggal 24 Oktober 2024," ujar jaksa.

Dalam perkara ini, selain Singgih, ada tiga internal BRI yang terlibat dan turut didakwa. Pertama, Nadia Sukmarina yang merupakan karyawan BRI Cabang Menteng Kecil periode Januari 2022 sampai 2023. 

Kedua, Rudi Hotma yang merupakan Kepala Unit BRI Cabang Menteng Kecil periode Desember 2019 sampai Januari 2022. Ketiga, Heru Susanto yang merupakan Kepala Unit BRI Cabang Menteng Kecil periode Januari 2022 sampai 2023. 

Tindak pidana korupsi tersebut telah memperkaya Singgih sebear Rp 56,79 miliar, Nadia Sukmarina sebesar Rp 29,8 juta, Rudi sebesar Rp 65,5 juta, serta Heru Rp 26,5 juta. Selain itu, kredit fiktif itu juga menguntungkan almarhum Antonius HPP sebesar Rp 20 juta, Muyasir Rp 4 juta, saksi Wiwin Tinni Rp 1 juta, Maman Rp 53,5 juta, dan Sutrisno sebesar Rp 53,5 juta. 

Jaksa menjelaskan, Singgih memberikan imbalan kepada Maman dan Sutrisno  berupa uang senilai Rp 500 ribu per satu dokumen pengajuan kredit. Data tersebut kemudian diserahkan kepada Nadia, Rudi Hotma, dan Heru untuk diproses. 

Namun, Nadia yang saat itu menjabat sebagai pejabat pemrakarsa dalam pemberian kredit tidak memverifikasi kebenaran data tersebut. Dia langsung menyerahkannya kepada Antonius HPP yang ketika itu mengepalai Kantor BRI Cabang Menteng Kecil, hingga akhirnya kredit disetujui. Tindakan tersebut dilakukan berulang hingga jabatan Kepala Unit BRI Cabang Menteng Kecil berganti dari Rudi Hotma menjadi Heru Susanto. 

Sementara itu, perkara kedua dengan alur praktik yang sama terjadi di BRI Cabang Cut Mutiah yang melibatkan tiga terdakwa. Selain Dwi Singgih Hartono, ada terdakwa Oki Harrie Purwoko dan M. Kusmayadi. Oki merupakan Relationship Manager di BRI Kantor Cabang Cut Mutiah periode 2010-2019. Sementara itu, Kusmayadi adalah Relationship Manager di kantor yang sama periode 2018-2023. 

Jaksa mengatakan, kasus kredit fiktif di BRI Cabang Cut Mutiah telah memperkaya Singgih sebesar Rp 7,98 miliar. Kemudian, memperkaya Oki sebesar Rp 4,8 juta dan Kusmayadi Rp 7,2 juta.

Selain itu, ada pihak lain yang turut diuntungkan dalam perkara ini seperti saksi Casmana sebesar Rp 13,5 juta, saksi Heryanto Tambunan Rp 5,5 juta, dan almarhum Kunt. Suhardo Rp 20 juta. Kemudian, juga memperkaya Maman dan Sutrisno masing-masing sebesar Rp 11 juta.

"Telah mengakibatkan kerugian negara cq PT BRI (Persero) Cabang Cut Mutiah setidak-tidaknya sejumlah Rp 7,95 miliar sesuai dengan LHAPKKN dari BPKP Nomor PE.03.03/SR/SP-1158/D5/02//2024 tanggal 24 Oktober 2024," kata jaksa.

Atas perbuatannya itu, para terdakwa didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Setelah surat dakwaan dibacakan, hakim Suparman menanyakan apakah para terdakwa memahami materi dakwaan. Seluruh terdakwa menjawab bahwa mereka telah mengerti. "Apakah akan mengajukan keberatan atau eksepsi?" kata Suparman kepada para terdakwa.

Mulanya dalam sidang perkara pertama, seluruh terdakwa menyatakan tidak akan mengajukan eksepsi. Namun dalam sidang perkara kedua, penasihat hukum Singgih menyatakan akan mengajukan eksepsi atas kedua surat dakwaan.

"Apakah kami bisa mengajukan (eksepsi atas dakwaan pertama) dalam majelis yang sama?" kata penasihat hukum Singgih bertanya kepada majelis hakim. 

Hakim Suparman pun mengatakan bahwa agenda sidang pekan depan yang semula diagendakan untuk pemeriksaan saksi dari jaksa, diubah menjadi sidang pembacaan eksepsi. Pembacaan eksepsi akan dilakukan pada Kamis, 20 Februari 2025 di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat pukul 10.00 WIB.