Refly Harun Sebut Tata Tertib DPR Bisa Dibatalkan di MA karena Langgar Konstitusi
Menurut pakar hukum tata negara, revisi Tata Tertib DPR bisa diuji dan berpotensi dibatalkan di Mahkamah Agung. Aturan itu dinilai melanggar konstitusi.
![Refly Harun Sebut Tata Tertib DPR Bisa Dibatalkan di MA karena Langgar Konstitusi](https://statik.tempo.co/data/2024/10/14/id_1345136/1345136_720.jpg)
TEMPO.CO, Jakarta - Dosen hukum tata negara dari Universitas Tarumanagara, Refly Harun, menilai revisi melanggar konstitusi dan bisa dibatalkan lewat kajian di Mahkamah Agung (MA). Revisi terbaru ini memberi wewenang bagi DPR untuk mengevaluasi pejabat negara hasil uji kelayakan atau fit and proper test.
Refly mengatakan wewenang baru DPR ini tidak hanya menyalahi undang-undang, tetapi juga konstitusi atau Undang-Undang Dasar 1945. Maka dari itu, ia yakin pasal tersebut bisa dibatalkan di MA. “Saya yakin seyakin-yakinnya, kalau pasal itu diadakan judicial review (di MA), lewat itu pasal,” kata Refly saat dihubungi pada Kamis, 6 Februari 2025.
Refly berkata revisi Tata Tertib DPR juga mengancam independensi berbagai lembaga negara, yang seharusnya dihormati. Wewenang baru DPR untuk mengevaluasi para pejabat negara juga disebut melanggar prinsip pemisahan kekuasaan antara cabang legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Ia memprediksi potensi adanya uji materi atau judicial review terhadap aturan tersebut tinggi. Sebab, ia menilai, pasal tersebut menyalahi aturan sekaligus menyangkut kepentingan MA hingga Mahkamah Konstitusi (MK). “Saya kira dalam jangka waktu dekat atau lama akan ada yang membawanya ke MA,” ujar Refly.
DPR mengesahkan Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib dalam rapat paripurna di gedung parlemen, Jakarta Pusat pada Selasa, 4 Februari 2025. Revisi yang diajukan oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR adalah penambahan Pasal 228A di antara Pasal 228 dan Pasal 229 di dalam peraturan itu.
Pasal 228A ayat (1) berbunyi, “Dalam rangka meningkatkan fungsi pengawasan dan menjaga kehormatan DPR terhadap hasil pembahasan komisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 227 ayat (2), DPR dapat melakukan evaluasi secara berkala terhadap calon yang telah ditetapkan dalam rapat paripurna DPR.”
Kemudian ayat (2) dari Pasal 228A berbunyi, “Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat mengikat dan disampaikan oleh komisi yang melakukan evaluasi kepada pimpinan DPR untuk ditindaklanjuti sesuai dengan mekanisme yang berlaku.”
Beberapa pejabat negara yang harus melewati uji kelayakan dan ditetapkan dalam rapat paripurna di DPR termasuk calon hakim Mahkamah Konstitusional (MK) dan Mahkamah Agung (MA), calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), calon Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI), hingga calon Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri).
Revisi tata tertib itu menuai kritik dari berbagai pihak. Lembaga penelitian SETARA Institute, misalnya, menilai revisi tersebut bersifat cacat formil dan materiil.
Hendardi, Ketua Dewan Nasional SETARA Institute, mengatakan langkah DPR ini merupakan bentuk intervensi keliru atas prinsip saling kontrol atau checks and balances dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Ia khawatir akan dampak yang mungkin muncul dari revisi tata tertib ini, yakni DPR pada akhirnya bisa mencopot pejabat negara lewat evaluasi.
Pasal terbaru dalam Tata Tertib DPR memang tidak menyebutkan wewenang mencopot jabatan, namun menyatakan hasil evaluasi DPR bersifat mengikat. “Tentu bisa berujung pada pencopotan, jika hasil evaluasi itu merekomendasikan pencopotan seorang pejabat penyelenggara negara,” kata Hendardi dalam keterangan tertulis pada Rabu, 5 Februari 2025.
Ketua Baleg DPR Bob Hasan memberi klarifikasi tentang hal tersebut. Bob mengatakan aturan ini bukan berarti DPR berwenang mencopot pejabat.
“Bukan mencopot. Ya, pada akhirnya pejabat yang berwenang atas evaluasi berkala dari DPR itu akhirnya ada keputusan mencopot. Bukan DPR RI yang mencopot,” ujar Bob dalam rapat pleno membahas penugasan Rancangan Undang-Undang (RUU) oleh pimpinan DPR, di gedung parlemen, Jakarta Pusat, pada Kamis, 6 Februari 2025.