Revisi Tata Tertib DPR, Akal-akalan Menambah Kewenangan Absurd

DPR gagal memahami makna frase pengawasan yang merupakan salah satu fungsi DPR sebagaimana Pasal 20A (1) UUD Negara RI 1945.

Revisi Tata Tertib DPR, Akal-akalan Menambah Kewenangan Absurd

oleh: , Ketua Dewan Nasional SETARA Institute

TRIBUNNERS - Revisi Peraturan No. 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib (Tatib) , yang pada pokoknya mempertegas fungsi pengawasan terhadap calon-calon penyelenggara negara yang pengangkatannya melalui proses politik di  DPR, seperti hakim MK, hakim Agung, pimpinan KPK, Komisioner lembaga-lembaga negara lainnya bahkan Gubernur dan Dewan Gubernur Bank Indonesia, adalah bentuk intervensi keliru atas prinsip check and balances dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.

Memang tidak ada penyebutan pencopotan pejabat, tetapi frase pada Pasal 228A Ayat (2) menyebutkan hasil evaluasi bersifat mengikat, tentu bisa berujung pada pencopotan, jika hasil evaluasi itu merekomendasikan pencopotan seorang pejabat penyelenggara negara.

Substansi norma sebagaimana Pasal 228A ini keliru secara formil, dimana peraturan internal sebuah lembaga negara seharusnya hanya mengatur urusan internal kelembagaan dan/atau mengatur pihak-pihak yang berhubungan dengan lembaga dimaksud.

Sementara secara substantif, norma di atas bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat dalam Pasal 1 ayat (2) UUD Negara RI 1945, Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang Undang Dasar.

Frase menurut UUD ini ditujukan untuk menjamin kemerdekaan dan independensi lembaga-lembaga yang diatur UUD, memastikan kontrol dan keseimbangan antar masing-masing cabang kekuasaan, dan tidak boleh ada pengaturan lain  yang secara substantif melemahkan independensi lembaga-lembaga negara baik yang dibentuk dengan UUD maupun UU lainnya.

Norma Pasal 228A juga melampaui puluhan UU sektoral lain, yang justru memberikan jaminan independensi pada MA, MK, BI, KPK, KY dan lainnya, yang berpotensi dibonsai oleh dengan kewenangan evaluasi yang absurd.

DPR gagal memahami makna frase pengawasan yang merupakan salah satu fungsi sebagaimana Pasal 20A (1) UUD Negara RI 1945. Fungsi pengawasan yang melekat pada adalah mengawasi organ pemerintahan lain dalam menjalankan undang-undang.

Artinya, yang diawasi adalah pelaksanaan UU bukan kinerja personal apalagi kasus-kasus yang seringkali menimbulkan konflik kepentingan berlapis. Dalam sistem presidensial, jika pun diberi kewenangan menyetujui pencalonan, memilih, atau menetapkan, itu semata-mata ditujukan untuk memastikan adanya kontrol dan keseimbangan antar lembaga negara dan memastikan pembatasan bagi presiden agar tidak secara bebas memutuskan (discretionary decision) pengisian pejabat penyelenggara kedaulatan rakyat, sehingga desain independensi lembaga-lembaga negara tetap terjaga.

Supremasi parlemen yang melampaui prinsip pembagian kekuasaan sebagaimana Pasal 1 (2) UUD tidak boleh dibiarkan. Sebaiknya berfokus pada tugas utama pembentukan UU, pengawasan atas berjalannya UU yang dibentuknya dan fungsi budgeting secara lebih berkualitas, bukan merancang ranjau-ranjau politik dan kekuasaan yang ditujukan bukan untuk kepentingan rakyat tetapi memaksa kepatuhan buta pada parlemen dan selalu membuka ruang-ruang transaksi dan negosiasi. 

Peraturan yang cacat formil dan materiil ini sebaiknya tidak perlu diundangkan dan jika sudah terlanjur diundangkan, bisa diperkarakan ke Mahkamah Agung, untuk segera dibatalkan.