Rupiah Hari Ini Ditutup Melemah di Rp 16.340 per Dolar AS, Besok Diprediksi Fluktuatif
Rupiah hari ini ditutup turun 47 poin ke level Rp 16.340 per dolar AS, setelah sempat melemah hingga 55 poin ke Rp 16.347.
TEMPO.CO, Jakarta - kembali melemah pada perdagangan sore ini, Kamis, 6 Februari 2025. Pengamat mata uang Ibrahim Assuaibi mengatakan tertekan karena meningkatnya ketegangan perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok. Rupiah hari ini ditutup turun 47 poin ke level Rp 16.340 per dolar AS, setelah sempat melemah hingga 55 poin ke Rp 16.347.
“Untuk perdagangan besok, mata uang rupiah diprediksi fluktuatif, namun ditutup melemah dengan rentang pergerakan di Rp 16.310 – Rp 16.400 per dolar AS,” ujarnya, Kamis, 6 Februari 2025.
Menurut Ibrahim, sentimen eksternal menjadi faktor utama pelemahan rupiah. Ketegangan antara AS dan Tiongkok meningkat setelah Washington mengenakan tarif baru sebesar 10 persen terhadap barang impor dari Beijing, yang dibalas oleh Tiongkok dengan tarif dan kontrol ekspor sendiri. Analis JPMorgan, kata dia, bahkan memperingatkan bahwa perang dagang ini berpotensi semakin dalam jika AS melanjutkan rencana penerapan tarif hingga 60 persen.
Situasi ini mendorong pelaku pasar beralih ke aset safe haven seperti yen Jepang. Mata uang tersebut menguat setelah anggota dewan Bank of Japan (BOJ), Naoki Tamura, mengisyaratkan potensi kenaikan suku bunga menjadi 1 persen pada paruh kedua 2025. Komentar tersebut, ditambah dengan data upah yang lebih kuat dari perkiraan, membuat yen semakin reli.
Selain faktor eksternal, Ibrahim juga menyoroti faktor domestik yang turut menekan rupiah. Ia menilai pertumbuhan ekonomi Indonesia yang terus melambat dalam dua tahun terakhir menjadi indikasi lemahnya daya beli masyarakat, terutama kelas menengah. "Sejak 2022, pertumbuhan ekonomi terus melambat dari 5,31 persen menjadi 5,05 persen pada 2023, lalu sedikit turun lagi ke 5,03 persen pada 2024. Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi rumah tangga sebagai motor utama pertumbuhan ekonomi tidak mampu tumbuh lebih tinggi dari laju ekonomi itu sendiri," kata dia.
Menurut dia, tekanan terhadap kelas menengah semakin besar akibat kenaikan harga berbagai kebutuhan, mulai dari transportasi hingga pulsa dan paket data. Sementara itu, kebijakan pemerintah dinilai lebih banyak berpihak pada kelompok ekonomi bawah melalui bantuan sosial, tetapi di sisi lain membebani kelas menengah dengan berbagai pungutan pajak. "Hal ini membuat konsumsi rumah tangga sulit meningkat, sehingga pertumbuhan ekonomi kehilangan salah satu pendorong utama," kata dia.
Ke depan, pelaku pasar akan mencermati rilis data tenaga kerja AS pada Jumat ini. Jika data penggajian nonpertanian (NFP) menunjukkan ketahanan pasar tenaga kerja, dolar AS berpotensi menguat lebih lanjut, yang dapat menambah tekanan bagi rupiah.
Mengingat kondisi eksternal dan domestik yang masih penuh tantangan, Ibrahim memperingatkan bahwa volatilitas rupiah masih akan tinggi dalam beberapa waktu ke depan. "Pelemahan rupiah saat ini lebih dipengaruhi faktor eksternal, tetapi lemahnya konsumsi domestik juga menjadi isu yang tidak bisa diabaikan," tutur dia.