Sejarah Elpiji 3 Kg, Digagas Jusuf Kalla dan Kini Penjualannya Dibatasi Prabowo
Pemerintahan Prabowo Subianto mengubah aturan distribusi Elpiji 3 kg untuk mengurangi kebocoran subsidi, namun kebijakan ini menyebabkan antrean panjang dan insiden meninggalnya seorang nenek.
Pemerintahan mengambil langkah untuk membatasi pemasaran LPG 3 kg di tingkat pengecer karena penyalurannya tak tepat sasaran dan harga jual yang lebih mahal dibandingkan harga resmi di pangkalan.
Dengan kebijakan baru ini, masyarakat diwajibkan membeli LPG 3 kg langsung ke pangkalan yang telah bekerja sama dengan Pertamina. Namun, kebijakan tersebut memicu antrean panjang di berbagai daerah, bahkan mengakibatkan insiden tragis.
Di Tangerang, seorang nenek dilaporkan meninggal dunia setelah mengalami kelelahan saat mengantre 3 kg di salah satu pangkalan. Kejadian ini menuai kritik dari berbagai pihak, termasuk ekonom yang menilai bahwa kebijakan ini belum sepenuhnya siap diterapkan di lapangan.
Menanggapi situasi ini, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia meminta maaf atas dampak yang ditimbulkan. Dia menegaskan bahwa perbaikan sistem ini diperlukan agar subsidi pemerintah lebih tepat sasaran.
Selain itu, bertujuan untuk menghilangkan oknum yang menaikkan harga LPG di tingkat konsumen. Ia menemukan bahwa harga LPG 3 kg di masyarakat sempat mencapai Rp 26.000 per unit.
"Harga LPG 3 kg seharusnya tidak lebih dari Rp 15.000 sampai Rp 16.000 per kg. Pemerintah sudah mensubsidi LPG 3 kg hingga Rp 36.000 per unit dari harga keekonomiannya yang mencapai Rp 42.750 per unit," kata Bahlil saat meninjau Pangkalan Gas Kevin di Palmerah, Selasa (4/2).
Pemerintah akan memberikan kesempatan bagi pengecer untuk tetap menjual LPG 3 kg, dengan syarat mereka harus terdaftar dalam aplikasi yang dikembangkan oleh Pertamina. Pemerintah juga berencana mengatur harga di tingkat pengecer agar lebih terkendali dan tidak jauh dari harga resmi pangkalan.
Sejarah LPG 3 Kg dari Era Jusuf Kalla
Pada tahun 2007, Wakil Presiden Jusuf Kalla menggagas dan meluncurkan program konversi minyak tanah ke LPG 3 kg. Peluncuran program ini dilakukan di salah satu lokasi agen minyak tanah di desa Kebon Pala, Kecamatan Makassar, Jakarta Timur.
Program ini menargetkan 20 juta keluarga miskin sebagai penerima manfaat selama tiga tahun pertama. Pemerintah membagikan gratis kompor dan tabung elpiji 3 kg agar masyarakat bisa beralih dari minyak tanah ke LPG.
Kehadiran program ini bertujuan untuk mengurangi beban subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang ditanggung oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta mengurangi polusi.
Kalla menyatakan bahwa penggunaan elpiji sebagai pengganti minyak tanah dapat menekan subsidi BBM dan mengurangi pengeluaran masyarakat miskin. Dia juga mengakui, program konversi ini membutuhkan dana investasi besar untuk pembangunan prasarana yaitu sekitar Rp 20 triliun.
"Namun penghematan yang bisa dilakukan juga tidak kecil. Jika pemakaian minyak tanah bisa diganti seluruhnya dengan LPG, berarti subsidi sebesar Rp 30 triliun per tahun untuk minyak tanah tidak diperlukan," kata Kalla dikutip dari keterangan resmi Kementerian Energi dan SDM yang tayang pada Selasa (8/5/2007).
Namun, di fase awal, terjadi banyak insiden meledaknya tabung LPG 3 kg akibat kurangnya pemahaman masyarakat tentang penggunaan elpiji. Hal ini disebut sebagai cultural jump, di mana masyarakat belum sepenuhnya beradaptasi dengan perubahan tersebut.
Seiring waktu, konsumsi minyak tanah menurun drastis dari 9,85 juta kiloliter pada 2007 menjadi hanya 850 ribu kiloliter pada 2015, menandakan keberhasilan program konversi.
Sejak peluncuran program hingga 2011, penghematan subsidi yang diperoleh tercatat mencapai Rp45,3 triliun. Pemerintah mendistribusikan total 50,5 juta paket perdana LPG 3 kg kepada masyarakat selama program berlangsung, dengan rincian 3,9 juta paket pada 2007, 15 juta paket pada 2008, 24,3 juta paket pada 2009, dan distribusi tambahan pada tahun-tahun berikutnya.
Era Jokowi: Peningkatan Subsidi dan Pengetatan Distribusi
Di era Presiden Joko Widodo, LPG 3 kg tetap menjadi bagian dari kebijakan subsidi energi. Pemerintah terus meningkatkan alokasi subsidi LPG 3 kg untuk masyarakat miskin dan usaha kecil. Namun tantangan utama muncul ketikan subsidi dinikmati oleh masyarakat kelas menengah atas, usaha besar, bahkan industri.
Oleh karena itu, pemerintah mulai menerapkan kebijakan distribusi tertutup dengan mewajibkan pembelian LPG 3 kg menggunakan Kartu Keluarga Sejahtera atau data yang terdaftar dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) agar penyalurannya tepat sasaran.
A. Uji Coba Subsidi Tertutup pada 2016
Uji coba subsidi tertutup LPG pada 2016 dilakukan untuk menyalurkan subsidi secara lebih tepat sasaran, sehingga hanya masyarakat miskin dan kelompok berhak yang dapat membeli LPG 3 kg dengan harga subsidi.
Pemerintah mengujicobakan skema ini di beberapa daerah dengan mekanisme berbasis data terpadu, seperti kartu elektronik atau pencatatan NIK. Namun, pelaksanaannya menghadapi berbagai kendala, seperti validitas data penerima, kesiapan infrastruktur, serta resistensi dari masyarakat dan pelaku usaha.
Karena tantangan tersebut, pemerintah akhirnya menunda penerapan subsidi tertutup secara nasional dan tetap menggunakan skema subsidi terbuka hingga kebijakan lebih lanjut ditetapkan.
B. Subsidi Tertutup Masih Dalam Kajian pada 2020
Saat itu, Menteri ESDM Arifin Tasrif menyatakan perubahan distribusi LPG 3 Kg secara tertutup masih dalam kajian. Kebijakan ini belum final dan melibatkan berbagai instansi terkait untuk memastikan subsidi lebih tepat sasaran.
"Pembahasan ini melibatkan kementerian dan lembaga dengan mempertimbangkan kondisi masyarakat kecil dan juga pengusaha," kata Arifin, Sabtu (18/1/2020).
Pemerintah akan mendata penerima yang benar-benar berhak guna mencegah kebocoran subsidi. Meski begitu, tidak ada pembatasan bagi penerima yang memenuhi syarat.
Pemerintah berkomitmen menyediakan akses energi merata serta menekan subsidi agar lebih efektif. Pada 2020, subsidi LPG 3 kg diproyeksikan sebesar Rp 50,6 triliun, lebih rendah dari Rp 58,1 triliun pada 2018.
C. Pembelian LPG 3 Kg di Pangkalan Harus Bawa KTP pada 2024
Mulai 1 Juni 2024, masyarakat yang ingin membeli gas LPG 3 kg wajib menunjukkan KTP. Hal ini dilakukan seiring peralihan sistem pencatatan dari manual ke digital melalui aplikasi Merchant Apps Pangkalan (MAP).
Sekretaris Perusahaan Pertamina Patra Niaga, Irto Ginting, menjelaskan bahwa bagi masyarakat yang belum terdaftar masih bisa membeli LPG subsidi dengan membawa KTP.
"Pencatatan transaksi LPG 3 kg secara digital melalui MAP mulai 1 Juni 2024, bagi yang belum daftar, kami persilakan bawa KTP saat membeli LPG 3 kg di pangkalan agar terdata," ujar Irto, dikutip Kamis (30/5).
Dengan sistem ini, Pertamina dapat memantau siapa saja yang membeli LPG subsidi serta jumlah konsumsi per bulan, sehingga penyaluran LPG bersubsidi lebih transparan dan dapat dipertanggungjawabkan kepada pemerintah.
Era Prabowo Subianto: Pengetatan Distribusi LPG 3 Kg
Memasuki era pemerintahan Prabowo, pemerintah semakin menata ulang distribusi LPG 3 kg untuk memastikan subsidi yang mencapai Rp 87 triliun per tahun benar-benar tepat sasaran.
Bahlil menyatakan bahwa distribusi LPG 3 kg perlu diperbaiki agar subsidi tersebut tidak dinikmati oleh pihak yang tidak berhak. Salah satu kebijakan utama adalah membatasi penjualan LPG 3 kg hanya melalui pangkalan resmi yang bekerja sama dengan Pertamina.
Namun, kebijakan ini menimbulkan antrean panjang di berbagai daerah. Bahkan, seorang nenek di Tangerang dilaporkan meninggal dunia akibat kelelahan saat mengantre untuk mendapatkan LPG 3 kg.
Menanggapi situasi ini, Prabowo menginstruksikan agar pengecer diperbolehkan kembali menjual LPG 3 kg dengan syarat mereka terdaftar dalam aplikasi Pertamina.
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menyatakan bahwa Prabowo menginstruksikan agar pengecer bisa berjualan kembali sambil proses administrasi sebagai sub-pangkalan berjalan.
"Jadi pengecer yang akan menjadi sub-pangkalah akan ditentukan juga harganya, sehingga harga di masyarakat tidak mahal," kata Dasco, Selasa (4/2).
Reporter: Andi M. Arief, Antara, Ferrika Lukmana Sari