APHTN-HAN sarankan rekayasa konstitusional pasca-putusan MK

Sejumlah pakar hukum yang tergabung dalam Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) memberikan sejumlah saran dan rekomendasi tentang rekayasa konstitusional yang ideal pasca-putusan Mahkamah ...

APHTN-HAN sarankan rekayasa konstitusional pasca-putusan MK

Jember, Jawa Timur (ANTARA) - Sejumlah pakar hukum yang tergabung dalam Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) memberikan sejumlah saran dan rekomendasi tentang rekayasa konstitusional yang ideal pasca-putusan Mahkamah Konstitusi No. 62/PUU-XXII/2024.

Sejumlah saran tersebut disampaikan dalam webinar nasional APHTN-HAN bertema "Rekayasa Konstitusional Pencalonan Capres dan Cawapres Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi" dengan keynote speech Ketua Komisi II DPR RI M. Rifqinizamy Karsayuda pada Selasa.

"Salah satu perkembangan ketatanegaraan yang menarik dicermati yakni keberadaan putusan MK No. 62/PUU-XXII/2024 yang diucapkan dalam sidang pleno pada 2 Januari 2025," kata Sekretaris Jenderal APHTN-HAN Prof. Bayu Dwi Anggono dalam keterangan tertulisnya yang diterima di Jember.

Dalam pertimbangan hukum putusan itu dinyatakan bahwa pembentuk Undang-Undang dapat melakukan rekayasa konstitusional (constitutional engineering) agar tidak muncul pasangan calon presiden dan wakil presiden dengan jumlah yang terlalu banyak, sehingga berpotensi merusak hakikat dilaksanakan pemilu presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat.

"Pesan konstitusional MK dalam pertimbangan putusan perihal dapat dilakukannya rekayasa konstitusional itu sebagai sebuah pengaturan terkait persyaratan pencalonan capres-cawapres dalam UU Pemilu apakah suatu kewajiban yang harus dilakukan pembentuk UU Pemilu ataukah merupakan pilihan?," katanya.

Dalam webinar itu juga diharapkan sejumlah pakar hukum membahas tentang model rekayasa konstitusional yang ideal yang sesuai dengan lima batasan yang diberikan oleh MK.

Menurutnya tujuan diselenggarakan kegiatan webinar itu merupakan wujud pelaksanaan misi APHTN-HAN untuk menyebarluaskan informasi seputar masalah hukum tata negara dan hukum administrasi negara, serta memberikan sumbangan pemikiran untuk merespon perkembangan ketatanegaraan yang menarik.

"Kami berharap hasil webinar itu bisa berkontribusi bagi upaya pembentuk UU yang saat ini tengah mempersiapkan pembaruan legislasi di bidang kepemiluan," ucap Bayu yang juga Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember (Unej) itu.

Selain itu, lanjut dia, APHTN-HAN juga berharap agar pembahasan legislasi itu dapat melibatkan partisipasi semua pihak yang memiliki perhatian (concern) terhadap penyelenggaran pemilu.

"APHTN-HAN sejak konferensi nasional beberapa waktu lalu juga sudah memberikan beberapa catatan dan rekomendasi perihal pembaruan legislasi pemilu di Indonesia," katanya.

Sementara Guru besar Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Prof. Agus Riewanto yang menjadi narasumber dalam webinar tersebut memberikan empat rekomendasi dalam rekayasa konstitusional.

"Pertama, perlu dilakukan revisi UU Pemilu yang harus mempertimbangkan rambu-rambu putusan MK No.62/PUU-XXII/2024 dan kedua, perlu diatur mekanisme pencalonan yang adil, inklusif, dan tidak menyebabkan fragmentasi yang berlebihan," tuturnya.

Ketiga, perlu partisipasi publik karena dalam proses perumusan rekayasa konstitusional harus melibatkan pemangku kepentingan dan masyarakat sipil, serta keempat yakni evaluasi dan monitoring terhadap implementasi rekayasa konstitusional harus dilakukan secara berkala.