Sengketa HGB Juga Terjadi di Subang, Petani Mengadu ke MUI

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (Wasekjen MUI) Bidang Hukum dan HAM, KH Ikhsan Abdullah mengatakan bahwa di tengah hiruk pikuk pagar laut yang memiliki Hak Guna...

Sengketa HGB Juga Terjadi di Subang, Petani Mengadu ke MUI

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (Wasekjen MUI) Bidang Hukum dan HAM, KH Ikhsan Abdullah mengatakan bahwa di tengah hiruk pikuk pagar laut yang memiliki Hak Guna Bangunan (HGB), masalah juga terjadi di Kabupaten Subang. Petani di yang merasa dirugikan telah mengadu ke Pusat untuk mencari keadilan.

"Terdapat penguasaan lahan juta meter persegi oleh perusahaan atau korporasi, hal itu terjadi di atas lahan eks PT Perkebunan Nusantara (PTPN) di Kabupaten Subang, Jawa Barat," kata Kiai Ikhsan kepada Republika, Rabu (22/1).

Kiai Ikhsan mengatakan, di Subang, sebuah PT diberikan banyak sertifikat dengan luasan lebih dari 2 juta meter persegi kemudian diterlantarkan. Menurut Wasekjen MUI Bidang Hukum dan HAM, aparatur negara dan pejabat Indonesia telah lupa menjaga konstitusi RI. 

"Bunyi Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 yakni bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat," ujar Kiai Ikhsan.

Ia mengungkapkan, padahal HGB berdasarkan Pasal 35 Ayat (1) UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria (UUPA), hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun. Artinya pemberian HGB itu untuk dibangun sesuai permohonanya.

Ia menjelaskan, HGB memberikan hak kepada seseorang atau badan hukum untuk mendirikan bangunan di atas tanah, baik tanah milik negara maupun tanah hak milik orang lain dengan persetujuan pemilik.

Wasekjen MUI Bidang Hukum dan HAM mengungkapkan data Sertifikat HGB atas nama sebuah PT  berdasarkan plang yang bertuliskan "Tanah Milik (nama PT tersebut)" dengan status tanah Sertifikat HGB yang sampai saat ini belum dibangun dan tidak nampak pembangunan sama sekali. 

Di Desa Cipeundeuy SHGB No 96 Luas 2.340.127 meter persegi. Di Desa Cipeundeuy SHGB No 97 Luas  1.572.894 meter persegi. Di Desa Karangmukti SHGB No 721 Luas  1.412.897 meter persegi. Di Desa Karangmukti SHGB No 722 Luas 1.996.997 meter persegi.

Di Desa Karangmukti SHGB No 723 Luas 135.463 meter persegi. Di Desa Karangmukti SHGB No 724 Luas  544.773 meter persegi. Desa Karangmukti SHGB No 725 Luas  34.156 meter persegi. Desa Karangmukti SHGB No 726 Luas  2.949.435 meter persegi. Desa Kadawung SHGB No 101 Luas  2.203.163 meter persegi. 

Desa Cihambulu SHGB No 5 Luas 158.466 meter persegi. Desa Cihambulu SHGB No 6 Luas 1.044.059 meter persegi. Desa Cihambulu SHGB No 7 Luas 190.744 meter persegi. Desa Salamjaya SHGB No 31 Luas 2.277.300 meter persegi. Desa Pringkasap SHGB No 1 Luas 553.636 meter persegi. Desa Pringkasap SHGB No 2 Luas  27.385 meter persegi.

Kiai Ikhsan mengungkapkan, data di atas adalah sertifikat HGB yang diterbitkan oleh Kantor ATR/ BPN Kabupaten Subang atas nama PT tersebut yang sampai saat ini terbengkalai tidak pernah dibangun sejak diterbitkan SHGB tahun 2017 silam.

"Dan SHGB tersebut diterbitkan dengan menggusur hak atas tanah garapan 400 petani penggarap yang sudah di atas 20 tahun menggarap lahan eks PTPN tersebut tanpa ganti rugi sepeserpun," ujar Kiai Ikhsan.

Kiai Ikhsan mengatakan, bahkan petani penggarap yang akan mengolah tanahnya yang selama ini mereka garap harus membayar sewa jutaan Rupiah kepada PT AW.

Kiai Ikhsan mengatakan, HGU PTPN telah habis masa konsesinya sejak tahun 2002 itu terletak di dua kecamatan, yaitu Kecamatan Pabuaran dan Cipeundeuy meliputi 15 desa sebagaimana data di atas.

"Kini nasib petani penggarap terlunta, karena mata pencaharian satu-satunya sebagai petani penggarap selama puluhan tahun di tanah garapan tersebut yang telah dijadikan sawah tadah hujan atau huma, telah diserobot oleh korporasi melalui penerbitan HGB," jelas Kiai Ikhsan.

Kiai Ikhsan mengatakan, kalau mau menggarap harus bayar sewa kepada korporasi, jika tetap menggarap tanpa bayar sewa diintimidasi bahkan dilakukan kekerasan fisik. Menurut Kiai Ikhsan ada bukti laporan ke Polres Subang dan Polda Jabar.

"Ratusan Petani sudah mengadukan nasibnya ke Polda Jabar, ke BPN Jabar, ke Polres Subang dan ke Kantor Pertanahan Subang selain ke pemerintah desa dan kabupaten tetapi tidak pernah ada yang bisa memberikan solusi. Sampai akhirnya terpaksa harus mengadu ke MUI Pusat dan saat ini sedang ditangani oleh Wakil Sekjen MUI Bidang Hukum dan HAM bersama perwakilan petani penggarap," kata Kiai Ikhsan.