Sidang Ted Sioeng, Ahli Sampaikan Pihak yang Sudah Dipailitkan Tak Bisa Dipidana
Ahli menyebut terdakwa Ted Sioeng tidak bisa dipidana jika merujuk pada putusan pailit yang dikeluarkan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.
![Sidang Ted Sioeng, Ahli Sampaikan Pihak yang Sudah Dipailitkan Tak Bisa Dipidana](https://asset-2.tstatic.net/tribunnews/foto/bank/images/terdakwa-Ted-Sioeng.jpg)
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Terdakwa kasus dugaan dan penggelapan dana bank Rp203 miliar, , menghadirkan saksi ahli perdata/perbankan dari UGM Nindyo Pramono dan ahli hukum pidana dari UII Mudzakkir dalam sidang lanjutan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (6/2/2025).
Saksi ahli Nindyo Pramono dalam persidangan menyampaikan, terdakwa Ted Sioeng tidak bisa dipidana jika merujuk pada putusan pailit yang dikeluarkan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.
Baca juga:
Sebab, kepailitan masuk dalam asas hukum yang menyatakan peraturan khusus menggantikan peraturan umum atau disebut lex specialis.
“Kalau merujuk Undang-Undang Kepailitan yaitu Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), ada salah satu pasal bisa merujuk kalau tidak salah Pasal 29 dalam Undang-Undang Kepailitan dan PKPU, tegas dinyatakan kalau sudah perkara kepailitan dan debitur dijatuhkan dalam keadaan pailit, maka perkara-perkara di luar kepailitan menjadi gugur, termasuk perkara yang berkaitan dengan peradilan yang sedang berlangsung menjadi gugur. Karena kepailitan adalah lex specialis,” kata Nindyo.
Diketahui, telah menggugat pailit Sioengs Group. Dalam keterbukaan informasi, MAYA menyebut Sioengs memiliki kredit macet Rp1,55 triliun di bank tersebut.
Kemudian Pengadilan Niaga Jakarta Pusat menetapkan Sioengs pailit lewat putusan 55/Pdt.Sus-PKPU/2023/PN.Niaga.Jkt.Pst.
Ted Sioeng kemudian menjadi buronan Interpol pada 2023 dan akhirnya ditangkap polisi setelah dilaporkan Bank atas tuduhan dan penggelapan.
Oleh karena itu, lanjut Nindyo, tidak relevan lagi jika kreditur mempersoalkan adanya perbedaan peruntukan dari pinjaman yang dilakukan oleh nasabah atau debitur padahal utang-utangnya sudah dilunasi.
Menurut Nindyo, prinsip dasar bank sebagai kreditur adalah utang atau kreditnya dibayar lunas oleh debitur.
“Tidak relevan lagi menurut saya (kalau sudah terjadi pelunasan utang debitur terhadap kreditur, lalu kreditur menuntut debitur karena perbedaan peruntukan dari dana kredit). Karena kreditur pada dasarnya kalau itu bank, sebenarnya pada dasarnya bank yang penting dalam rangka mengucurkan kredit, itu kredit dibayar lunas,” jelas Nindyo.
Memang, kata dia, ada fase-fase pada saat awal dilakukan pemeriksaan dokumen maupun jaminan kepada nasabah sebelum bank mengeluarkan pinjaman kredit. Selain itu, bank sebagai kreditur juga harus memiliki keyakinan terhadap nasabahnya mampu untuk membayar atau melunasi utangnya tersebut.
Nindyo menjelaskan, hal itu sebagaimana telah diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, dan beberapa pasalnya diperbaiki oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK).
“Memang ada fase-fase pada saat awal diperiksa jaminan, apapun jaminannya bisa macam-macam, bisa perorangan termasuk corporate. Prinsipnya yang penting perjanjian kredit itu diberikan asal bank yakin berdasarkan atas itikad baik calon nasabah, bahwa calon nasabah itu pada gilirannya akan mampu mengembalikan utang kredit atau mampu membayar angsuran. Setelah itu dipenuhi, dipakai apapun (uangnya) yang penting dibayar. Bank tidak sempat melihat satu persatu nasabah bisa ribuan, bagaimana peruntukan dari kredit yang diberikan kepada nasabah,” kata Nindyo.