WPRF 2024 Bahas Tantangan Kecerdasan Buatan (AI) Untuk Profesi Humas
World Public Relations Forum (WPRF) 2024 membeberkan kiat seorang public relations dalam menghadapi kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) dengan cerdas.
World Public Relations Forum (WPRF) 2024 membeberkan kiat seorang public relations dalam menghadapi kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) dengan cerdas.
WPRF 2024 merupakan forum pertemuan internasional yang menekankan pentingnya komunikasi untuk membangun antara organisasi dan publik, sembari membuka peluang untuk berbagi perspektif secara global.
Professor of Intercultural Relations and Chair of the International Leadership Association, Coventry University, United Kingdom, Mike Hardy, mengatakan bahwa tidak perlu khawatir dengan kecerdasan buatan (AI), kecuali apabila public relations hanya melihatnya sebagai satu hal yang lain. Ia menilai penggunaan teknologi secara cerdas adalah suatu hal yang akan membawa umat manusia ke era global sekarang.
"Saya selalu memberi tahu mahasiswa saya, saya ingin Anda menjadi ahli dalam kecerdasan buatan dengan cara berpikir cerdas,” kata Hardy dalam World Public Relations Forum (WPRF) bertajuk “Next Gen Public Relations: Purposeful Progress” di Nusa Dua, Bali, Selasa (19/11).
Di samping itu Ketua Perhumas, Boy Kelana Soebroto, mengatakan bahwa public relations (PR) dapat memanfaatkan kecerdasan buatan (AI) sebagai alat, namun AI tidak dapat menggantikan peran PR.
Ia menilai PR membutuhkan kecerdasan manusia karena manusia harus memiliki rasa, etika, dan tanggung jawab dalam berkomunikasi. Apa yang disampaikan kepada publik harus selaras dengan komunikasi yang bertanggung jawab.
Menurutnya, tantangan terbesar di dunia PR, selain kemajuan AI, adalah masalah seperti misinformasi dan disinformasi. Banyak orang yang berkomunikasi tanpa tanggung jawab, dan hal ini perlu dihadapi dengan edukasi kepada para profesional PR. Dalam komunikasi, kata Boy, public relations harus memastikan bahwa informasi yang disampaikan memiliki sumber yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan.
“Jadi harus dipilah-pilah, mana yang kita bisa komunikasikan, apa dampaknya kepada masyarakat luas, kita harus berpikir itu. Karena itu seluruh PR professional harus responsible dalam berkomunikasi,” tambahnya.
Tekan Kesenjangan Public Relations di Indonesia
Lebih lanju, Boy mengatakan mengatakan bahwa sebagai asosiasi profesi humas tertua di Indonesia, Perhumas memiliki tanggung jawab besar. Selama ini, Perhumas terus mengadakan pelatihan, sertifikasi, dan akreditasi untuk meningkatkan kompetensi humas di seluruh Indonesia.
Ia menyebut hal itu penting demi mengurangi kesenjangan antara humas di kota-kota besar dan daerah-daerah, memastikan bahwa standar seorang hubungan masyarakat di mana pun tetap sama.
“Oleh karena itu, saya mengajak seluruh Humas Indonesia untuk bisa selaras dengan apa yang Perhumas gaungkan selama ini,” kata Boy di sela-sela acara World Public Relations Forum (WPRF) di Nusa Dua, Bali, Selasa (19/11).
Boy juga menambahkan bahwa Perhumas berfokus pada peningkatan kompetensi humas melalui akreditasi, sertifikasi, dan pelatihan yang mereka selenggarakan. Ia juga optimistis pemerintah saat ini sangat menghargai peran komunikasi dan humas dalam sebuah organisasi, terutama dalam sebuah negara.
Ia menekankan komunikasi yang baik sangat penting, baik dalam menyampaikan informasi ke luar negeri maupun kepada masyarakat di dalam negeri. Namun, komunikasi tersebut harus jelas, tidak boleh membingungkan atau ambigu.
“Sehingga komunikasi itu harus selaras. Jadi perannya itu penting banget sebagai Humas, sebagai PR, sebagai komunikator dari organisasi atau apalagi sebuah negara,” ucapnya.