Asosiasi Biro Perjalanan Hingga Hotel Yogyakarta Soroti Pemangkasan Anggaran yang Mempengaruhi Pariwisata
Pelaku industri jasa pariwisata dan perhotelan di Yogyakarta turut menyoroti kebijakan pemangkasan anggaran di masa pemerintahan Prabowoo- Gibran
![Asosiasi Biro Perjalanan Hingga Hotel Yogyakarta Soroti Pemangkasan Anggaran yang Mempengaruhi Pariwisata](https://statik.tempo.co/data/2024/07/29/id_1322982/1322982_720.jpg)
TEMPO.CO, Yogyakarta - Kalangan pelaku industri jasa pariwisata yang tergabung dalam Association of the Indonesian Tours and Travel Agencies atau ASITA di turut menyoroti kebijakan pemangkasan anggaran yang tengah digencarkan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Pemangkasan anggaran yang diatur melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD 2025 itu dinilai bakal berdampak bagi industri , terutama pelaku usaha biro perjalanan yang selama ini kliennya juga kalangan birokrasi.
Kebijakan pemangkasan anggaran ini paling banyak menyasar anggaran perjalanan dinas luar daerah. "Salah satu unsur pariwisata kan MICE (Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition), dengan kebijakan itu tentu segmen ini terdampak," kata Ketua ASITA Daerah Istimewa Yogyakarta, Trianto Sunarjati Rabu 5 Februari 2025.
Yogyakarta selama ini menjadi salah satu pusat terlaris di Tanah Air. Ini didukung dengan kuatnya sektor akomodasi seperti hotel berbintang dan infrastruktur untuk pergerakan industri kreatif. Trianto mengungkapkan, ketika terjadi penurunan industri perjalanan wisata, maka sub sektor wisata lain tentu berdampak.
Tidak hanya pelaku biro perjalanan yang merasakan, tetapi juga pelaku usaha yang penghasilannya bergantung pada sektor wisata. Mulai dari perhotelan hingga pelaku ekonomi lainnya. Namun Trianto belum bisa memprediksi seberapa besar dampak pemangkasan anggaran pemerintah itu nanti di sektor wisata secara keseluruhan.
"Asosiasi di DIY ini punya sekitar 150 anggota biro perjalanan, pasarnya beda beda, tidak semua (fokus pasar) pemerintahan, jadi dampaknya tidak merata," kata dia. Kebijakan pemangkasan anggaran serupa juga pernah diterapkan pada periode awal kepemimpinan Presiden Joko Widodo 2014 silam. Saat itu sangat berdampak bagi pelaku jasa akomodasi yang pasarnya birokrasi pemerintahan.
Menurutnya, sekitar setengah anggota ASITA DIY merupakan pelaku jasa yang pasarnya didominasi wisatawan mancanegara yang ingin berlibur ke Indonesia. Kelompok tersebut relatif aman dari kebijakan efisiensi anggaran. Sedangkan sisanya melayani pasar wisatawan domestik hingga umrah. Dengan kebijakan pemangkasan anggaran itu, ASITA DIY sendiri mendorong ada semacam solusi berupa kebijakan pemerintah untuk yang terdampak. "Misalnya membantu di sektor promosi lebih intens menarik wisatawan mancanegara," kata dia.
Kekhawatiran kalangan perhotelan
Tak hanya biro perjalanan yang was-was terkait efisiensi anggaran ini. Kalangan industri perhotelan yang tergabung dalam Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DIY juga terdampak, bahkan lebih awal. Ketua PHRI DIY Deddy Pranawa Eryono menuturkan sejak kebijakan lewat inpres itu diterbitkan, ada sejumlah kementerian dan pemerintah daerah ramai-ramai membatalkan reservasi kamar hotel di Yogyakarta. "Pembatalan reservasi itu untuk keperluan MICE di Yogyakarta, sampai 40 persen dari total reservasi yang sudah masuk," kata Deddy.
Sebenarnya, kata Deddy, gerakan pembatalan reservasi untuk MICE itu bukan mulai pada 2025 . Namun sudah sejak November 2024 lalu, saat pemerintah mulai menggaungkan wacana efisiensi anggaran itu. "Kami sayangkan kebijakan itu karena cenderung mengabaikan efeknya di sektor wisata terutama pelaku jasa industri perhotelan juga perjalanan," kata dia.
Ketika pemasukan dari MICE itu terus menurun, dikhawatirkan mulai berimbas pada operasional pelaku jasa wisata, termasuk pengurangan tenaga kerja. PHRI DIY mendesak pemerintah pusat mengevaluasi kebijakan efisiensi ini. Terlebih di Yogyakarta, industri wisata seperti perhotelan salah satu penyumbang pajak cukup besar. "Pemerintah daerah akan kehilangan PAD (Pendapatan Asli Daerah) cukup besar ketika kebijakan ini berjalan.
PHRI pusat sendiri, kata Deddy, telah mengirim surat kepada presiden dan kementerian terkait untuk mengevaluasi kebijakan itu.