Bertahan di Laut yang Mengering: Perjuangan Nelayan Surabaya Melawan Sedimentasi Lumpur
Bertahan di Laut yang Mengering: Perjuangan Nelayan Surabaya Melawan Sedimentasi Lumpur. ????Nelayan di Pesisir Timur Laut Surabaya menghadapi tantangan besar akibat sedimentasi lumpur yang membentang hingga lima kilometer. -- Ikuti kami di ????https://bit.ly/392voLE #beritaviral #jawatimur #viral berita #beritaterkini #terpopuler #news #beritajatim #infojatim #newsupdate #FYI #fyp
Surabaya (beritajatim.com) – Pukul enam pagi, ketika mentari baru saja merekah, kami menyusuri Pesisir Timur Laut Surabaya. Di sana, para nelayan bercerita tentang perjuangan mereka melawan sedimentasi lumpur yang membentang hingga tiga kilometer; sebuah rintangan besar dalam upaya mencari rezeki di laut lepas.
Pemandangan laut mengering, serta lumpur yang membentang sejauh tiga kilometer ini tentu berbeda dengan yang ada di dalam buku-buku puisi. Tidak ada buih, debur ombak, sorot cahaya keemasan matahari yang terpantul di permukaan air. Yang ada hanya air laut coklat yang memprihatinkan.
Mujib (45), seorang nelayan di Pesisir Timur Laut Surabaya mengatakan bahwa kondisi seperti ini sudah lama terjadi sejak sepuluh tahun yang lalu. Akibat proyek penanaman paku bumi di Jembatan Suroboyo dan Pakuwon City, Sukolilo.
“Dulu belum ada sedimentasi atau pendangkalan lumpur, ini baru ada sekitar 10 tahun yang lalu. Itu terjadi setelah ada proyek pembangunan Jembatan Suroboyo, serta pembangunan Gedung Pakuwon City di Mulyorejo, Sukolilo. Dampak dari pemasangan paku bumi yang menghunjam dasar laut,” terang Mujib, seraya yakin mengingat rekam ingatannya saat ditemui beritajatim.com, Selasa (4/2/2025).
Sepuluh tahun yang lalu, 2015, Pesisir Timur Laut Surabaya semuanya pasir. Tidak ada lumpur atau sampah. Mujib mengaku, kondisi laut yang bersih zaman dulu membuat dirinya gemar mencari ikan di usia lima tahun, dan memutuskan menjadi nelayan di usia enam tahun saat masih sekolah kelas lima SD.
Pria kelahiran 1980 itu juga merasakan turunnya hasil tangkapan ikan setelah adanya sedimentasi lumpur. Kata dia, dulu sekali pulang melaut dapat ikan 3 – 5 kwintal, sekarang sehari hanya dapat 20 – 30 kilogram. Dengan harus menempuh jarak yang jauh ke perairan luar laut Surabaya, Sidayu – Gresik.
“Sekarang ongkos modalnya berangkat ke laut itu mahal Rp300 ribu untuk BBM saja, karena jaraknya jauh. Nelayan sini rata-rata melautnya ke arah utara di perairan Gresik, di sana itu tidak ada pengaruh lumpur dan ikannya masih banyak,” ujar dia.
“Kita ini bisa apa? Proyek penanaman paku bumi itu kan dari pemerintah, atau yang telah disetujui oleh pemerintah. Kita harus hidup dan menghidupi keluarga. Gak boleh menyerah sama lumpur,” imbuhnya.
Sedimentasi lumpur yang sudah menjadi bagian dari kehidupan nelayan Pesisir Surabaya ini akan meluas setelah surutnya air laut di setiap tanggal 15. Hal itu membuat sedimentasi sejauh lima kilometer dan menyusahkan nelayan saat pulang melaut, karena harus pulang berjalan kaki di atas lumpur sedalam 1,5 meter sambil membawa ikan hasil tangkapan.
“Haduh, kalau pas musim ikan kerapu dan pas di selesai tanggal 15 itu yang paling susah. Nelayan harus menambatkan perahu di sisa air laut surut, menyeret ikan sejauh lima kilometer untuk melewati lumpur. Agar ikan kerapu tidak mati. Karena ikan kerapu ini paling mahal, dan kalau mati harganya anjlok,” ucap Mujib.
Meskipun banyak kisah getir yang ia bagi tentang kondisi laut Surabaya, Mujib tetap menuturkannya dengan senyum dan tawa, seolah menjadi bukti nyata bahwa rasa syukurnya masih bersemi di hatinya.
“Ya memang begini ini kehidupan nelayan, dijalani aja pokoknya,” tutup Mujib. [ram/beq]