Catatan 100 Hari Kerja Prabowo, FITRA Minta Kabinet Gemuk Dievaluasi

Peneliti FITRA Rizqika Arrum Bakti mengatakan pihaknya memberi sejumlah catatan 100 hari kerja pemerintahan Prabowo.

Catatan 100 Hari Kerja Prabowo, FITRA Minta Kabinet Gemuk Dievaluasi

TEMPO.CO, Jakarta - Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran atau mendorong Presiden Subianto mengevaluasi kembali kabinet gemuknya dan kebijakan kontraproduktif setelah 100 hari kerjanya.

Peneliti FITRA Rizqika Arrum Bakti mengatakan pihaknya memberi sejumlah catatan pemerintahan Prabowo. Sejak dilantik 20 Oktober 2024, kabinet gemuk Prabowo dinilai tidak efisien dan efektif di tengah terbatasnya anggaran negara. Apalagi minimnya representasi perempuan dan pernyataan publik menteri dan wakil menteri yang dikritik publik.

“FITRA menyarankan Presiden Prabowo melakukan evaluasi kementerian/lembaga secara kelembagaan agar menghindari tumpang tindih fungsi, tugas serta kewenangan. Apalagi kondisi keuangan negara mengalami keterbatasan untuk mendukung kinerja kabinet gemoy,” kata Arrum dalam keterangan tertulis kepada Tempo, Rabu, 22 Januari 2025. 

Selain itu, kata Arrum, banyaknya pembantu presiden yang melakukan blunder baik dalam pembuatan kebijakan dan pernyataan publik perlu evaluasi bahkan di-reshuffle jika dinilai tidak memberikan kinerja yang optimal.

FITRA setidaknya menyoroti tujuh pembantu presiden yang menimbulkan kontroversi. Pertama adalah Yandri Susanto, Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal. Awal-awal pelantikan, Yandri mengakui telah menggunakan kop surat Kementerian Desa untuk undangan acara pribadi dan bermuatan politis.

Kemudian ada Yusril Ihza Mahendra, Menteri Koordinator Bidang Hukum dan HAM. Yusril menyatakan bahwa peristiwa 1998 bukan pelanggaran HAM berat karena tidak melibatkan genosida dan pembersihan etnis. Ketiga, gelar doktor Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia dari Universitas Indonesia dalam waktu singkat, yaitu 18 bulan. Kecepatan studi ini memicu perdebatan mengenai standar pendidikan doktoral di Indonesia.

Keempat, Menteri Hukum dan HAM Natalius Pigai. Pigai mengusulkan anggaran Kementerian Hukum dan HAM ditingkatkan menjadi Rp 20 triliun untuk memperkuat program-program HAM di Indonesia. Namun, permintaan tersebut membuat banyak kalangan yang meragukan pemahaman Menteri Hukum dan HAM dalam merancang anggaran publik.

Yang juga sempat ramai dan banyak menuai kritik adalah kasus Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan, Miftah Maulana Habiburrahman alias Gus Miftah. Miftah menjadi sorotan setelah mengolok-olok penjual es teh dengan kata-kata "goblok" di depan publik. Kritikan publik akhirnya membuat Miftah mengundurkan diri.

Dua terakhir adalah yang teranyar. Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono. Sakti menyatakan bahwa pemasangan pagar laut sepanjang 30,16 kilometer di pesisir utara Banten bersifat ilegal dan tidak memiliki izin resmi. Pagar laut ini menunjukkan lemahnya pengawasan Kementerian KKP. 

Terakhir, Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Satryo Soemantri Brodjonegoro. Satryo didemo ASN kementeriannya karena sewenang-wenang mengusir dan memecat bawahannya. Salah satunya terkait masalah WiFi di rumah dinas. Namun kemudian Satryo menjelaskan bahwa rotasi dan mutasi pegawai dilakukan sesuai prosedur dan tidak ada pemecatan terkait isu tersebut.

Selain itu, FITRA juga menyoroti sejumlah kebijakan dan program Prabowo. Salah satunya makan bergizi gratis. Program ini membagikan 570.000 porsi makanan pada hari pertama dan melibatkan 190 dapur di lebih dari 20 provinsi kepada anak-anak sekolah dan ibu hamil. 

“Meskipun bertujuan baik, program ini menimbulkan kekhawatiran mengenai transparansi dan potensi konflik kepentingan, terutama terkait penggunaan dana pribadi Presiden Prabowo untuk membiayai program tersebut,” ujar Arrum. “Beberapa ekonom mengkritik langkah ini karena berisiko tidak transparan dan dapat menciptakan konflik kepentingan.”

Kebijakan lain yang dikritik adalah kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 menjasi 12 persen. Belakangan PPN tersebut hanya ditetapkan pada Barang dan Jasa Mewah seperti kendaraan bermotor mewah, hunian mewah, dan barang-barang mewah lainnya. Presiden Prabowo menegaskan bahwa PPN 12 persen hanya dikenakan terhadap barang dan jasa mewah yang dikonsumsi oleh golongan masyarakat mampu. 

“Akan tetapi, kebijakan tersebut dikawatirkan akan memicu kenaikan harga barang jasa lainnya yang berdampak pada penurunan kesejahteran masyarakat menengah-bawah dan membuat pelaku usaha lebih berhati-hati dalam melakukan aktifitas ekonomi (investasi),” katanya. 

FITRA juga menyoroti pembentukan dana kekayaan berdaulat yang dikelola presiden, yang disebut Daya Anagata Nusantara (Danantara). Dana ini bertujuan untuk mengkonsolidasikan aset Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang totalnya hampir mencapai USD 570 miliar. Tujuannya untuk membiayai proyek-proyek pemerintah dan mendorong pertumbuhan ekonomi. 

“Namun, rencana ini menimbulkan kekhawatiran mengenai potensi intervensi politik dan transparansi pengelolaan dana, serta dampaknya terhadap kinerja sektor-sektor strategis negara,” tutur Arrum. 

Penggunaan dana pribadi untuk pembiayaan program negara juga disorot FITRA. Presiden Prabowo menggunakan dana pribadinya untuk membiayai beberapa program pemerintah, termasuk program makan bergizi gratis. “Langkah ini menimbulkan kritik dari ekonom yang khawatir tentang transparansi dan potensi konflik kepentingan, serta menciptakan preseden buruk dalam tata kelola keuangan publik,” kata Arrum.