Catatan Cak AT: 80 Persen Rakyat Puas, Buktikan!
Foto ilustrasi Catatan Cak AT: 80 Persen Rakyat Puas, Buktikan! (Foto: Dok RUZKA INDONESIA)RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Litbang Kompas baru saja mengabarkan sesuatu yang terdengar seperti cerita rakyat modern: 80,9%...
RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Litbang Kompas baru saja mengabarkan sesuatu yang terdengar seperti cerita rakyat modern: 80,9% rakyat Indonesia puas dengan kinerja 100 hari pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Tapi tunggu sebentar, apakah angka fantastis ini benar-benar mencerminkan kenyataan? Ataukah ini sekadar ilusi statistik yang terlalu indah untuk tidak dicurigai?
Dalam 100 hari, cukupkah waktu untuk menciptakan perubahan besar, atau ini hanya panggung awal dari janji-janji manis yang sedang diuji oleh waktu? Mari kita selami lebih dalam, karena angka sering kali lebih fasih berbicara dari kenyataan itu sendiri.
Angka 80,9% terdengar seperti target nilai rapor anak SD yang dikejar orang tua ambisius. Tapi, bisakah kinerja pemerintahan yang baru berjalan tiga bulan lebih sedikit ini diukur dengan survei seperti ini? Apakah rakyat benar-benar merasa puas, atau mereka hanya menjawab "puas" karena terbawa suasana optimisme politik?
Metode survei memang terlihat ilmiah: 1.000 responden dipilih secara acak di 38 provinsi dengan margin of error 3,10%. Namun, mari kita jujur— 1.000 orang dari populasi 275 juta jiwa itu ibarat menilai rasa asin lautan dengan satu sendok teh air.
Kalau ini kompetisi masak, juri sudah pasti bilang, "Kurang representatif!" Tapi okelah, ini survei ilmiah, katanya.
Hasilnya, angka kepuasan 80,9%, yang mengalahkan tingkat kepuasan pada pemerintahan-pemerintahan sebelumnya dalam waktu yang sama.
Namun, apakah survei ini benar-benar menggambarkan kepuasan yang berdasar pada fakta, atau hanya euforia sesaat dari janji-janji manis yang masih jauh dari realisasi?
Program seperti makan siang gratis, penghapusan utang UMKM, dan penyediaan 3 juta rumah gratis terdengar seperti mimpi yang menenangkan.
Tapi ketika kita menggali lebih dalam, muncul pertanyaan: apakah responden puas karena janji-janji ini, atau mereka belum tahu kompleksitas dan kendala dalam pelaksanaannya?
Hubungan antara angka kepuasan yang tinggi dan kenyataan di lapangan inilah yang perlu kita bedah lebih tajam. Mari kita simak bagaimana program-program ini diuji oleh logika, bukan sekadar statistik.
Salah satu program unggulan Prabowo-Gibran adalah makan bergizi gratis. Konsepnya hebat: rakyat kenyang, pemerintah tenang. Tapi, dilihat dari cakupannya, program ini baru menyentuh sebagian saja dari warga yang jadi target sasaran.
Dan dilihat dari anggarannya? Rp 70 triliun untuk setahun hanya cukup sampai Juni. Artinya, rakyat akan kembali lapar di paruh kedua tahun ini. Untuk menutup celah ini, pemerintah perlu tambahan Rp 140 triliun, yang entah akan diambil dari mana. Kalau bukan dari anggaran yang ada, mungkin dari langit, siapa tahu.
Menghapus utang 1 juta UMKM? Juga hebat. Tapi ada 65 juta UMKM di Indonesia. Artinya, 64 juta lainnya akan tetap berjuang melawan rentenir dan pinjol. Program ini bagus sebagai headline, tapi kecil dampaknya pada mayoritas pelaku usaha mikro yang sebenarnya menjadi tulang punggung ekonomi rakyat.
Selain kedua program, pemerintah berjanji memberikan 3 juta rumah gratis, masing-masing seharga Rp 100 juta. Total anggaran yang dibutuhkan: Rp 300 triliun.
Jika ini dari investor swasta, apa kompensasinya? Dan kalau dari APBN, mengingat sebagian besar sudah dialokasikan untuk bayar utang, apakah kita akan membangun rumah dengan doa saja?
Pandangan kritis ini, maaf, tidak dimaksudkan untuk menghancurkan harapan, melainkan untuk mengingatkan: pemerintahan Prabowo harus lebih transparan soal program-programnya. Janji politik memang perlu disampaikan dengan indah, tapi realisasinya butuh lebih dari sekadar kata-kata.
Survei Kompas ini, entah disengaja atau tidak, bisa menjadi alat legitimasi awal pemerintahan. Tapi apakah 80,9% kepuasan itu akan bertahan jika rakyat benar-benar mulai menghitung hasil nyata? Waktu yang akan menjawab.
Namun, satu hal yang pasti: kinerja pemerintah tidak bisa diukur dari survei saja. Rakyat tidak butuh angka, mereka butuh bukti. Dan Prabowo-Gibran punya lima tahun untuk membuktikannya. Jadi, mari kita berharap mereka bukan hanya "pintar menjanjikan," tapi juga "cerdas menepati."
Wallahu a'lam, karena pemerintah yang baik adalah yang bisa mewujudkan janji, bukan hanya sekadar mengucapkannya. (***)
Penulis: Cak AT - Ahmadie Thaha/Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 21/1/2025