Detik-detik Berharga

Sumber foto : Canva Langit pagi itu tampak mendung. Awan hitam bergelayut berat, seolah menahan tangis. Di balkon apartemen lantai 15, aku memandang kota yang masih terselimuti kabut tipis. Gemuruh...

Detik-detik Berharga
Image Syahrial, S.T Sastra | 2024-11-18 07:34:36
Sumber foto : Canva

Langit pagi itu tampak mendung. Awan hitam bergelayut berat, seolah menahan tangis. Di balkon apartemen lantai 15, aku memandang kota yang masih terselimuti kabut tipis. Gemuruh petir sayup-sayup terdengar dari kejauhan, menggetarkan jendela-jendela kaca. Angin dingin menyapu wajahku, membawa aroma hujan yang akan turun.
Aku melirik jam tangan - 07.10. Kegelisahan mulai merayap dalam dada. Meeting dengan klien besar dari Singapura akan dimulai pukul 08.00. Presentasi yang kusiapkan semalaman harus sempurna. Bonus akhir tahun dan promosi jabatan bergantung pada meeting ini.
"Sepertinya akan hujan, Pak," ujar pak satpam kompleks apartemen sambil membukakan pintu gerbang. Di matanya terpancar kekhawatiran tulus. Aku mengangguk, merapatkan jaket, dan mengenakan masker. Motorku mendengung halus, siap menerobos jalanan yang mulai padat.
Suara Ibu tadi pagi terngiang di telinga. "Hati-hati di jalan, Nak. Jangan ngebut. Hidup cuma sekali." Entah sudah berapa ribu kali dia mengucapkan kalimat yang sama. Dulu, aku sering mendengus mendengarnya. Terlalu protektif, pikirku. Tapi sejak kehilangan Ayah dalam kecelakaan tiga tahun lalu, aku mulai memahami ketakutan dalam suaranya setiap kali aku pamit berangkat kerja.
Baru lima menit melaju di jalan raya, rintik hujan mulai turun. Awalnya gerimis kecil, tapi perlahan membesar. Dalam hati, aku mengutuk ramalan cuaca yang meleset. Harusnya hari ini cerah, kata aplikasi cuaca di ponselku. Angin bertiup semakin kencang, menerbangkan daun-daun kering dan sampah plastik. Motorku mulai oleng, terguncang hembusan angin yang tak bersahabat.
Pikiranku melayang ke kejadian seminggu lalu. Pak Ahmad, tetangga sebelah apartemen, meninggal mendadak karena serangan jantung saat berkendara. Masih terbayang jelas wajah pucat istrinya saat memberitahu berita itu. "Tadi pagi masih sempat sarapan bersama, masih bercanda seperti biasa," kata Bu Ahmad di sela isak tangisnya. Kematian memang tak pernah memberi jadwal kunjungan.
Badai semakin mengamuk. Kilat menyambar-nyambar, diikuti dentuman guntur yang memekakkan telinga. Pohon-pohon di pinggir jalan menari liar, beberapa ranting patah dan jatuh ke aspal. Air hujan yang dingin menusuk menembus jaket dan celanaku. Kaca helm mulai berembun, mengaburkan pandangan.
Jantungku berdegup kencang. Rasa takut mulai merayap dari ujung kaki hingga ubun-ubun. Bayangan Ayah yang terbaring kaku di rumah sakit tiga tahun lalu berkelebat dalam pikiran. Dia juga terburu-buru di pagi berhujan, seperti aku hari ini. Meeting penting, katanya waktu itu. Meeting terakhirnya.
"Ya Tuhan, lindungi aku," bisikku dalam hati. Tangan gemetar memegang setir. Logika mulai berperang dengan ego. Haruskah aku meneruskan perjalanan? Bagaimana dengan meeting itu? Reputasiku? Karirku?
Sebuah ranting besar jatuh beberapa meter di depanku. Rem berdecit keras. Motorku nyaris tergelincir. Napas tersengal, aku memutuskan untuk menepi ke halte bus terdekat. Ada hal yang lebih penting dari meeting dan promosi - nyawaku sendiri.
Di halte yang sepi, seorang bapak tua duduk tenang membaca koran. Rambutnya yang putih tersisir rapi, wajahnya teduh penuh kebijaksanaan. Dia tersenyum melihatku yang basah kuyup. "Cuaca memang tidak bisa ditebak, Nak. Seperti hidup ini," ujarnya, suaranya dalam dan menenangkan.
"Iya, Pak. Tadi saya buru-buru karena ada meeting penting. Tapi sekarang sadar, lebih baik terlambat daripada celaka," jawabku sambil memeras ujung jaket yang basah.
"Betul sekali." Bapak itu melipat korannya. "Saya dulu seperti kamu, selalu mengejar waktu. Sampai suatu hari, jantung saya kumat di jalan. Terkapar sendirian di pinggir jalan tol. Beruntung ada yang menolong." Dia menghela napas panjang. "Sejak itu saya sadar, hidup ini singkat. Setiap detik berharga. Tak ada meeting atau project yang lebih penting dari nyawa kita."
Kata-katanya menghantam kesadaranku seperti ombak yang menerjang karang. Selama ini, hidupku berputar di zona sempit bernama karir. Meeting, deadline, target, bonus, promosi - seolah hanya itu yang penting. Aku lupa caranya berhenti sejenak, menikmati secangkir kopi hangat di pagi hari, menelepon Ibu hanya untuk menanyakan kabar, atau sekadar memandang langit senja dari balkon apartemen.
Setengah jam kemudian, badai mulai mereda. Hujan masih turun, tapi tidak sederas tadi. Aku pamit pada bapak tua itu, berterima kasih atas pelajaran hidup yang tak terduga. Dia tersenyum, menepuk pundakku pelan. "Ingat, Nak. Hidup ini adalah hadiah. Cara terbaik mensyukurinya adalah dengan menjalaninya pelan-pelan, menikmati setiap detiknya."
Sisa perjalanan ke kantor kuhabiskan dengan kecepatan normal. Tak ada lagi pikiran untuk ngebut atau menerobos hujan. Meeting dengan klien Singapura? Aku sudah mengirim pesan pada tim bahwa aku akan terlambat karena cuaca buruk. Untuk pertama kalinya dalam karirku, aku tidak merasa bersalah karena terlambat.
Sesampainya di kantor, wajah-wajah cemas menyambutku. "Astaga, kamu tidak apa-apa? Tadi badainya parah sekali!" seru Rina, rekan satu tim.
Aku tersenyum. "Iya, sempat berteduh di halte. Maaf terlambat."
"Yang penting kamu selamat," ujar Pak Tomo, atasanku. "Meeting sudah kami undur setengah jam. Ganti baju dulu sana, masih ada waktu."
Di toilet kantor, aku menatap cermin. Wajah yang memandang balik tampak lelah tapi ada kilat berbeda di matanya. Pertemuan singkat dengan bapak tua di halte telah membuka mataku. Hidup memang seperti badai - bisa datang dan pergi kapan saja, tak bisa diprediksi, kadang menakutkan. Tapi justru ketidakpastian itu yang membuatnya berharga.
Kubuka laptop dan mulai menulis pesan untuk ibuku:"Bu, terima kasih selalu mengingatkan anakmu ini untuk berhati-hati. Hari ini aku belajar bahwa hidup ini singkat dan berharga. Maaf jarang menelepon. Nanti malam kita video call ya? Aku kangen masakan Ibu. Aku sayang Ibu."
Air mata menggenang saat mengetik pesan itu. Berapa kali aku mengabaikan telepon Ibu karena 'sibuk'? Berapa kali aku menunda pulang kampung karena 'banyak kerjaan'? Berapa banyak momen berharga yang kulewatkan karena terlalu fokus mengejar sesuatu yang fana?
Sejak hari itu, aku mulai menjalani hidup dengan cara berbeda. Tetap bekerja keras, tapi tidak lupa menikmati prosesnya. Tetap mengejar mimpi, tapi tidak mengorbankan kesehatan dan keselamatan. Aku mulai meluangkan waktu untuk hal-hal sederhana - sarapan tanpa terburu-buru, mengobrol dengan tetangga di lift, menelepon Ibu setiap hari, atau sekadar memandang matahari terbit dari balkon.
Karena pada akhirnya, hidup ini adalah anugerah yang tak ternilai. Setiap detak jantung, setiap tarikan napas, setiap tawa dan tangis - semua adalah bagian dari perjalanan yang indah ini. Dan kita tidak pernah tahu, kapan hari ini akan menjadi hari terakhir kita.
Sekarang, setiap kali mendengar suara hujan, aku tersenyum. Teringat pelajaran berharga dari sebuah badai dan seorang bapak tua di halte. Bahwa hidup ini singkat, maka nikmatilah setiap detiknya seolah-olah hari ini adalah hari terakhirmu di dunia. Karena mungkin, memang benar demikian.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di