DPR Diminta Cegah Potensi Adaptasi Aturan FCTC pada Rancangan Permenkes
Sulami juga melihat bahwa poin-poin yang dimasukkan oleh Kementerian Kesehatan mengakomodir kepentingan asing.
![DPR Diminta Cegah Potensi Adaptasi Aturan FCTC pada Rancangan Permenkes](https://asset-2.tstatic.net/tribunnews/foto/bank/images/pemerintah-rencana-kenaikan-tarif-cukai-hasil-tembakau_20231227_184818.jpg)
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Ketua Gabungan Perusahaan Rokok (Gapero) Surabaya, Sulami Bahar, mendorong Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terlibat dalam polemik penerapan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 dan aturan turunannya, Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes).
Melalui surat yang dikeluarkan oleh Sekretariat Jenderal RI, dinyatakan bahwa surat perihal penolakan terbitnya PP 28/2024 tentang Kesehatan sudah diterima dengan baik.
Mengikuti arahan Ketua RI, Puan Maharani, permasalahan tersebut akan dibahas dan ditindaklanjuti oleh Komisi IX.
Sulami berharap langkah terbaru ini segera ditangani oleh legislator yang membidangi kesehatan, ketenagakerjaan, dan jaminan sosial.
Pasalnya, hingga saat ini, belum ada lanjutan pembicaraan mengenai polemik tersebut.
"Kami akan tetap berjuang karena sangat keberatan dengan aturan tersebut. Pelaku industri hasil sedang tidak baik-baik saja dan mengalami penurunan yang signifikan," kata Sulami melalui keterangan tertulis, Kamis (13/2/2025).
Sulami juga melihat bahwa poin-poin yang dimasukkan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dalam PP 28/2024 dan Rancangan Permenkes justru mengakomodir keinginan pihak asing.
Semestinya, katanya, Kemenkes seharusnya membuat regulasi berdasarkan kondisi di dalam negeri.
Adopsi aturan turunan dari kebijakan itu malah merujuk pada kebutuhan asing, seperti memuat pasal-pasal Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).
Misalnya, soal rencana penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek.
Padahal, Indonesia secara resmi tidak meratifikasi FCTC.
"Kami tegaskan bahwa semua regulasi industri hasil yang dikeluarkan Kemenkes ini lebih menyerang daripada perjanjian yang ada di FCTC. Ini bukan pengendalian, tapi sudah mematikan," tuturnya.
Sulami turut menyoroti nasib pendapatan negara dan keberlangsungan industri beserta pihak-pihak lainnya yang menggantungkan diri pada sektor tersebut.
Faktanya, industri ini telah memberikan kontribusi besar bagi penyerapan kerja hingga penerimaan negara sekitar Rp200 triliun lebih tiap tahunnya.
Ia mengatakan bahwa PP 28/2024 maupun Rancangan Permenkes sangat minim transparansi, sehingga kebijakan yang dihasilkan justru mendapatkan banyak pertentangan.
Banyak pihak tidak dilibatkan, yang menimbulkan ketidakseimbangan dalam produk hukum yang dihasilkan.
Menurutnya, pelibatan berbagai pemangku kepentingan yang terdampak oleh aturan ini perlu dilakukan.
Jika tidak, dikhawatirkan akan menimbulkan potensi negatif yang tidak hanya dirasakan oleh pelaku industri hasil , tetapi juga perekonomian negara secara keseluruhan.
Pendapatan negara dari cukai hasil (CHT) mencapai Rp216,9 triliun atau atau
menyumbang lebih dari 95 persen dari total penerimaan cukai
pada tahun 2024.