Gelar Diskusi Publik, Pakar Hukum Soroti Pelaksanaan Pilkada Banggai 2024

Pakar hukum menilai Bupati Petahana Terpilih bisa didiskualifikasi melalui putusan Mahkamah Konstitusi Konstitusi (MK)

Gelar Diskusi Publik, Pakar Hukum Soroti Pelaksanaan Pilkada Banggai 2024

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Umum Persatuan Doktor Pascasarjana Hukum Indonesia Abdul Chair Ramadhan menyoroti pelaksanaan Pilkada Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah.

Ia menilai Bupati Petahana Terpilih bisa didiskualifikasi melalui putusan Mahkamah Konstitusi Konstitusi (MK).

Sebab calon petahana diduga kental dengan aroma politik uang dan bansos serta mobilisasi aparat pemerintahan, dari camat, lurah, kepala desa, SKPD sampai ASN Kabupaten Banggai.


"Karenanya sudah sangat tepat kalau kita simpulkan dengan pendekatan analisis teoritis yuridis petahana ini memang harus didiskualifikasi dari putusan Mahkamah Konstitusi kalau kita memang ingin menegakkan kebenaran dan keadilan kebenaran dan keadilan," kata Ketua Umum Persatuan Doktor Pascasarjana Hukum Indonesia Abdul Chair Ramadhan di kawasan Menteng, Jakarta, Minggu (2/2/2025).


Abdul mengatakan, sudah ada indikasi kuat terjadinya penyalahgunaan kewenangan atau abuse of power oleh calon bupati petahana.

Melalui restrukturisasi APBD, mobilisasi aparat pemda yang digunakan untuk kepentingan menaikkan elektoral.

"Terdapat indikasi kuat terjadinya penyalahgunaan kewenangan, penyalahgunaan kekuasaan, abuse of power. Penyalahgunaan kewenangan, kekuasaan itu bisa dengan secara langsung kekuasaannya, dengan tindakannya, bisa juga dengan mempengaruhi para pemilih," kata Abdul.

Contohnya seperti upaya calon bupati petahana mempercepat turunnya bantuan sosial untuk diselesaikan pada November.

Padahal, Kemendagri telah mengeluarkan edaran agar penghentian sementara bansos.


"Ditambah lagi dengan adanya intervensi yang secara terselubung dengan perangkat dari kecamatan sampai kelurahan," jelas Abdul.

Karena itu, sudah jelas ada upaya terstruktur, sistematis dan masif oleh calon bupati petahana Banggai melalui anggaran daerah dan kewenangan daerah untuk mempengaruhi pemilih pada Pilkada 2024.


"Posisi dominan inilah yang kita kenal dengan paradigma STM, TSM dengan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Hal ini menjadi dari bagi kita bahwa terjadi pengembangan suara, naiknya suara, memenangkan petahana secara tidak sah," kata Abdul.


Abdul menilai Mahkamah Konstitusi seharusnya mengeluarkan putusan untuk mendiskualifikasi calon petahana sebagai peserta pilkada dan dilakukan pemungutan suara ulang tanpa calon bupati petahana.


"Perolehan suara tidak dapat dilepaskan dari proses pelaksanaan pemilukada sehingga permohonan dilakukannya pemilihan ulang, tapi dengan tidak disertakannya petahana alias didiskualifikasi, itu benar, tidak dapat dia digunakan lagi dalam pemilihan berikutnya. Karena dia telah menjadikan dirinya sebagai pemenang yang tidak sah," tutur Abdul.