IESR: Semangat Pemerintah Capai Emisi Nol Bersih Belum Nyata dalam Tindakan
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka genap 100 hari pada 28 Januari 2025. Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai komitmen pemerintah...
Lansekap bendungan Jatigede di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, Senin (20/1/2025). PLTA Jatigede resmi beroperasi secara penuh yang dibangun oleh PT PLN (Persero) dengan kapasitas 2 X 55 MegaWatt (MW) serta hadirnya PLTA ini meningkatkan bauran energi dari sumber energi baru terbarukan (EBT) sebesar 110 MW yang mampu mengaliri listrik ke 71.923 rumah.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka genap 100 hari pada 28 Januari 2025. Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai komitmen pemerintah untuk mencapai emisi nol bersih lebih cepat dari 2060 belum sepenuhnya tercermin dalam rencana dan tindakan nyata.
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, menegaskan pentingnya langkah konkret mempercepat transisi energi, termasuk menghentikan ketergantungan pada energi fosil. “Transisi energi harus dimulai sekarang dengan perencanaan terintegrasi dan implementasi terukur,” ujar Fabby, Rabu (22/1/2025).
Sebulan pasca pelantikan, Presiden Prabowo menargetkan net zero sebelum 2050, menghentikan PLTU batu bara dalam 15 tahun, dan mencapai 100 persen energi terbarukan dalam 10 tahun. Namun, IESR mencatat belum ada arahan khusus untuk merealisasikan target tersebut, terutama bauran energi terbarukan 23 persen pada 2025.
Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2024 masih mempertahankan target net zero 2060 dan puncak emisi di 2035. Bahkan, rencana pembangunan PLTU hingga 2035 tetap tercantum. IESR merekomendasikan percepatan pembangunan kapasitas 9 GW energi terbarukan tahun ini untuk mencegah kehilangan momentum.
IESR juga menyoroti subsidi energi fosil yang mencapai Rp 386,9 triliun pada 2024. Subsidi ini, menurut IESR, menghambat pengembangan energi terbarukan. “Pemerintah perlu mempertimbangkan pengalihan subsidi ini untuk mendukung pembiayaan transisi energi, misalnya dengan pungutan 2,5-5 persen dari nilai ekspor batu bara,” kata Fabby. Skema ini diperkirakan dapat menghasilkan hingga 2,5 miliar dolar AS per tahun untuk investasi energi terbarukan.
IESR mengingatkan pengembangan biodiesel berbasis minyak sawit perlu dilakukan secara bijak. Tingginya permintaan CPO berisiko memicu deforestasi dan emisi gas rumah kaca. Diversifikasi bahan baku biodiesel menjadi langkah yang direkomendasikan untuk mengurangi ketergantungan pada minyak sawit.
“Produksi biodiesel harus memenuhi kriteria keberlanjutan, termasuk sertifikasi ISPO, untuk memastikan tidak ada dampak negatif terhadap lingkungan dan masyarakat,” tambah Fabby.