Ini Alasan MK Tunda Terapkan Syarat Ambang Batas 2 Persen Selisih Suara di Perkara Sengketa Pilkada

MK menunda ambang batas 2 persen sebagai syarat selisih suara dalam permohonan perselisihan hasil Pilkada.

Ini Alasan MK Tunda Terapkan Syarat Ambang Batas 2 Persen Selisih Suara di Perkara Sengketa Pilkada

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kepala Biro Humas dan Protokol (MK), Pan Mohammad Faiz menjelaskan alasan MK menunda penerapan Pasal 158 Ayat (2) huruf a UU Nomor 10 Tahun 2016 terkait ambang batas 2 persen sebagai syarat selisih suara dalam permohonan perselisihan hasil Pilkada.

Faiz menerangkan pada 2015 MK pernah menerapkan secara murni Pasal 158, di mana perkara dengan selisih suara lebih dari ambang batas 2 persen langsung disetop. 

“MK pernah melakukan hal seperti itu. Hanya kemudian mempertimbangkan kalau tidak lewat 158, langsung selesai. Dan itu di tahun 2015,” kata Faiz ditemui di Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (5/2/2025).

Namun MK memberi kesempatan bagi para pihak untuk membuktikan apakah ada kejadian-kejadian khusus yang harus dipertimbangkan, sehingga ketentuan Pasal 158 dapat ditunda penerapannya.

Menurut Faiz, para pihak justru akan merasa dikecewakan jika ketentuan ambang batas 2 persen itu murni diterapkan sejak awal pengajuan permohonan.

“MK justru ingin memberi kesempatan kepada para pihak karena para pihak tentu akan kecewa juga jika itu murni diterapkan. Sehingga MK memberi kesempatan para pihak dengan 2 kali persidangan untuk membuktikan apakah ada misalnya kejadian-kejadian khusus yang harus dipertimbangkan oleh ,” ungkap Faiz.

Sebagaimana diketahui, banyak dari perkara sengketa hasil Pilkada 2024 tidak diterima oleh MK karena alasan selisih suara yang terlalu besar atau lebih dari syarat ambang batas 2 persen berdasarkan Pasal 158 Ayat (2) huruf a.

Permohonan tersebut di antaranya perkara nomor 19/PHPU.BUP-XXIII/2025 yang dimohonkan paslon bupati dan wakil bupati Pulau Morotai nomor urut 2 Syamsuddin Banjo-Judi Robert Efendis.

Baca juga:

Dalam perkara ini selisih suara pemohon dengan pihak terkait, paslon nomor urut 3 Rusli Sibua-Rio Christian mencapai 18.266 suara atau 41 persen.

“Menurut Mahkamah, pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. Dengan demikian, eksepsi termohon (KPU) dan eksepsi pihak terkait bahwa pemohon tidak memiliki kedudukan hukum adalah beralasan menurut hukum,” kata Hakim Konstitusi Guntur Hamzah.

Kemudian, permohonan perkara nomor 46/PHPU.BUP-XXIII/2025 yang dimohonkan paslon bupati dan wakil bupati Bolaang Mongondow nomor urut 1 Sukron Mamonto-Reflu Stenly juga tidak dapat diterima MK.

Perkara ini memiliki selisih suara mencapai 33 persen, di mana pemohon memiliki suara 19.903 suara sedangkan pihak terkait 64.709 suara.

“Perbedaan perolehan suara antara pihak terkait dan pemohon adalah 33 persen,” kata Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih.

Perkara nomor 79/PHPU.BUP-XXIII/2025 juga mendapat nasib yang sama. 

Perkara yang dimohonkan paslon bupati dan wakil bupati Takalar nomor urut 2 Syamsari-Natsir Ibrahim juga tidak diterima MK.

Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyampaikan selisih suara antara pemohon dan pihak terkait mencapai 41 persen. 

Pemohon mendapat suara 45.997 suara, sedangkan paslon nomor urut 1 atau pihak terkait mendapat 111.290 suara.

“Dalam pokok permohonan, menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima,” kata Ketua .

Atas putusan ini, perkara-perkara yang diputuskan tidak dapat diterima tak lagi berlanjut ke sidang pembuktian.