KLH soal RI Terlambat Serahkan Target Iklim ke PBB: Sudah Diserahkan ke Presiden

Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) menyatakan dokumen target iklim terbaru atau second national determined contribution (SNDC) sudah berada di tangan Presiden Prabowo.

KLH soal RI Terlambat Serahkan Target Iklim ke PBB: Sudah Diserahkan ke Presiden

Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) menyatakan dokumen target iklim terbaru atau second national determined contribution (SNDC) untuk penurunan emisi di 2030 dan 2035 sudah berada di tangan Presiden Prabowo Subianto. Hal itu menanggapi pernyataan PBB soal banyaknya negara yang terlambat menyerahkan target iklim, termasuk Indonesia.

Kepala Biro Hubungan Masyarakat , Sasmita Nugroho, mengatakan KLH telah menyiapkan bahan dan disusun menjadi dokumen untuk nantinya diserahkan kepada presiden.

“Awal februari masuknya (Dokumen SNDC). Masuk untuk kepada presiden dan menyatakan kita sudah siap,” ujar Sasmita saat dikonfirmasi Katadata, Kamis (13/2).

Sasmita mengatakan penyerahan SNDC ke United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCC) akan dilaksanakan setelah persetujuan dari Presiden. Menteri atau KLH hanya menyiapkan bahan yang nantinya dicermati oleh Presiden Prabowo sebelum diserahkan langsung ke UNFCC.

 “Yang menyerahkan SNDC itu presiden bukan menteri, menteri hanya menyiapkan bahan. Nanti yang melayangkan UNFCC adalah presiden,” ujarnya.

Indonesia Belum Serahkan Dokumen Target Iklim

Indonesia melewatkan tenggang waktu yang diberikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk menyetorkan target komitmen terhadap iklim terbaru guna mengantisipasi terjadinya pemanasan global.

Namun Indonesia tak sendiri. Banyak negara lainnya yang juga belum berhasil menentukan target iklim imbas tekanan dari keputusan Presiden AS Donald Trump keluar dari Perjanjian Paris.

 Hampir 200 negara yang tergabung dalam Perjanjian Paris dalam waktu dekat akan menghadapi tenggat waktu untuk mengajukan rencana iklim terbaru kepada PBB. Dokumen yang harus diserahkan tersebut berisi mengenai upaya dan cara negara tersebut dalam mengurangi emisi hingga tahun 2035.

Sebagaimana diketahui, Perjanjian iklim Paris 2015 mengamanatkan negara-negara untuk berusaha menghindari pemanasan global yang melebihi 1,5°C (2,7 derajat Fahrenheit) di atas tingkat pra-industri.    

 CEO Climate Analytics, Bill Hare, mengatakan publik berhak mengharapkan reaksi yang kuat dari pemerintah mereka terhadap kenyataan bahwa pemanasan global kini telah mencapai 1,5 derajat celcius selama setahun penuh.

“Tetapi kami belum melihat hal yang benar-benar berarti," ujar Bill dikutip Reuters, Selasa (11/2).  

 Sementara itu, Kepala iklim PBB, Simon Stiell, mengatakan, beberapa negara dengan ekonomi terbesar di dunia seperti Amerika Serikat, Inggris, Brazil, Jepang, dan Kanada telah mengumumkan rencana iklim terbarunya.

Ia mengatakan, pada minggu lalu sebagian besar negara telah menunjukkan dan berkomitmen akan menghasilkan rencana mereka tahun ini.  

 "Negara-negara sangat serius dalam hal ini, hal yang tidak mengejutkan mengingat rencana ini akan menjadi kunci untuk dana sebesar $2 triliun yang dapat diamankan pemerintah," ujar Stiell.  

 Stiell mengatakan, dana sebesar US$ 2 triliun mengacu kepada nilai investasi global di bidang energi bersih dan infrastrukturnya pada tahun 2024.  

 “Jadi, meluangkan sedikit lebih banyak waktu untuk memastikan bahwa rencana ini berkualitas tinggi masuk akal," ujarnya.