Menavigasi dampak deflasi dan membangun solusi
Deflasi sebesar 0,76 persen pada Januari 2025 yang diumumkan Plt Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar ...
Jakarta (ANTARA) - Deflasi sebesar 0,76 persen pada Januari 2025 yang diumumkan Plt Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti mungkin terdengar seperti kabar baik. Harga barang dan jasa yang turun seharusnya meringankan beban masyarakat.
Namun sejatinya, di balik angka ini, ada sinyal yang lebih mengkhawatirkan, yaitu daya beli masyarakat melemah, konsumsi melambat, dan roda ekonomi kehilangan momentum.
Dalam kondisi normal, penurunan harga terjadi karena peningkatan produktivitas atau inovasi yang membuat barang lebih murah. Tetapi kali ini, penyebabnya berbeda.
Deflasi yang terjadi bukanlah cerminan ekonomi yang sehat, melainkan refleksi dari permintaan masyarakat yang lesu.
Konsumsi rumah tangga, yang selama ini menyumbang lebih dari 55 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), mengalami tekanan serius.
Masyarakat lebih memilih menahan belanja, mengutamakan kebutuhan pokok, atau bahkan menunda pembelian barang-barang sekunder dan tersier.
Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang dirilis Bank Indonesia terus menurun sejak pertengahan 2024, menandakan pesimisme masyarakat terhadap kondisi ekonomi.
Jika pada 2019 kelas menengah mencakup 21,5 persen dari populasi, kini angkanya turun menjadi 17,1 persen. Sekitar 10 juta individu yang dulu memiliki daya beli cukup kuat kini berada dalam ketidakpastian ekonomi.
Mereka bukan kelompok miskin yang mendapat bantuan sosial, tetapi juga bukan lagi kelas menengah yang dapat berkontribusi besar pada konsumsi.
Bagi dunia usaha, ini adalah krisis yang berkembang. Sektor ritel dan manufaktur, yang sangat bergantung pada konsumsi domestik, menghadapi tantangan besar.
Indeks penjualan ritel terus menurun sejak kuartal ketiga 2024, dengan beberapa pengusaha melaporkan penurunan penjualan hingga 30 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Dengan berkurangnya permintaan, banyak usaha kecil dan menengah (UKM) kesulitan bertahan. Sebagian terpaksa mengurangi produksi, sementara yang lain harus memangkas tenaga kerja, menciptakan efek domino yang semakin memperparah pelemahan daya beli.
Tidak hanya itu, deflasi juga berdampak pada penerimaan negara. Pajak Pertambahan Nilai (PPN), yang menjadi indikator aktivitas konsumsi, menunjukkan perlambatan.
Meskipun target penerimaan pajak masih tercapai dengan angka lebih dari 100 persen, pertumbuhan penerimaan pajak yang hanya 3,5 persen menunjukkan bahwa basis pajak mulai menyusut.
Jika kondisi ini terus berlanjut, pemerintah menghadapi dilema dalam menjaga keseimbangan fiskal tanpa membebani masyarakat yang sudah tertekan secara ekonomi.
Langkah strategis
Mengatasi deflasi dan pemulihan daya beli bukan sekadar urusan angka dalam laporan statistik. Ini adalah persoalan nyata yang membutuhkan langkah konkret dan strategis.
Beberapa solusi yang dapat dilakukan untuk membalikkan tren ini meliputi upaya meningkatkan lapangan kerja berkualitas.
Menurut Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPNVJ Achmad Nur Hidayat, salah satu penyebab utama melemahnya daya beli adalah berkurangnya pendapatan akibat PHK atau ketidakpastian di sektor pekerjaan.
Maka ia menyarankan agar Pemerintah memberikan insentif bagi industri padat karya dan mendorong pertumbuhan sektor manufaktur serta industri kreatif.
Insentif pajak untuk perusahaan yang membuka lapangan kerja baru inilah yang diharapkan bisa menjadi solusi, sekaligus memastikan bahwa mereka yang kehilangan pekerjaan dapat kembali bekerja dengan pendapatan yang layak.
Program bantuan sosial juga perlu lebih fleksibel, tidak hanya bagi kelompok miskin tetapi bagi mereka yang rentan turun kelas. Bantuan langsung tunai (BLT) yang berbasis data akurat bisa menjadi solusi sementara untuk mencegah penurunan konsumsi yang lebih tajam.
Di sisi lain, subsidi energi dan pangan harus dioptimalkan agar masyarakat tetap memiliki daya beli terhadap kebutuhan dasar.
Kemudian, investasi pun harus menjadi prioritas utama dalam pemulihan ekonomi. Penyederhanaan regulasi dan insentif bagi investor, baik domestik maupun asing, dapat menarik modal masuk ke sektor riil.
UKM, sebagai tulang punggung ekonomi nasional, perlu didukung dengan kemudahan akses pembiayaan, pelatihan digitalisasi, serta insentif pajak bagi yang mampu meningkatkan produksi dan ekspor.
Sementara kebijakan moneter yang lebih adaptif akan menjadi
faktor pendukung lain yang kuat. Dalam hal ini Bank
Indonesia
perlu menjaga keseimbangan antara stabilitas nilai tukar, suku
bunga, dan likuiditas pasar.
Suku bunga yang terlalu tinggi bisa memperburuk situasi dengan menekan konsumsi dan investasi, sementara suku bunga yang terlalu rendah bisa mendorong aliran modal keluar. Oleh karena itu, pendekatan berbasis data dan fleksibilitas kebijakan menjadi kunci dalam menjaga keseimbangan ekonomi.
Seiring dengan itu efisiensi distribusi dan stabilisasi harga perlu ditingkatkan. Beberapa komoditas strategis seperti minyak goreng, beras, dan daging ayam tetap mengalami kenaikan harga meskipun secara keseluruhan terjadi deflasi.
Ini menunjukkan adanya masalah dalam rantai distribusi. Sinergi antara pemerintah pusat, daerah, dan sektor swasta perlu diperkuat untuk memastikan distribusi barang kebutuhan pokok tetap stabil, sehingga tidak ada distorsi harga yang justru memperburuk situasi ekonomi masyarakat.
Ancaman serius
Penurunan daya beli akibat deflasi ini bukan sekadar fenomena sementara, tetapi bisa menjadi ancaman serius jika tidak ditangani dengan langkah strategis.
Pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat harus berkolaborasi untuk memastikan bahwa momentum pemulihan ekonomi tidak terhambat oleh pesimisme dan ketidakpastian.
Masyarakat perlu didorong untuk kembali berbelanja dengan insentif yang tepat, dunia usaha harus mendapatkan kepastian regulasi agar dapat berkembang, dan pemerintah perlu menjaga keseimbangan fiskal tanpa membebani rakyat dengan kebijakan yang kontra-produktif.
Optimisme tetap harus dijaga. Sejarah menunjukkan bahwa Indonesia memiliki ketahanan ekonomi yang kuat jika dikelola dengan strategi yang tepat.
Saat ini, tantangannya adalah bagaimana memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi bukan hanya sebatas angka di atas kertas, tetapi benar-benar terasa dalam kesejahteraan masyarakat.
Pemerintah disarankan agar segera mengambil tindakan cepat untuk menghindari krisis yang lebih dalam. Sebab penurunan daya beli masyarakat Indonesia merupakan tantangan serius yang memerlukan perhatian dari berbagai pihak.
Deflasi yang terjadi pada Januari 2025 bukan sekadar efek dari diskon tarif listrik, tetapi juga mencerminkan masalah mendasar dalam ekonomi nasional.
Penyusutan kelas menengah, kesulitan yang dihadapi dunia usaha, dan potensi pelemahan penerimaan negara menjadi bukti bahwa perekonomian Indonesia berada dalam fase yang penuh tantangan. Maka diperlukan langkah strategis dan terukur untuk mengatasi krisis ini.
Pemerintah harus bertindak cepat dengan kebijakan yang dapat meningkatkan daya beli masyarakat, mendorong pertumbuhan ekonomi, serta memastikan bahwa stabilitas fiskal tetap terjaga.
Sebab jika tidak diatasi dengan serius, penurunan daya beli ini bisa berujung pada perlambatan ekonomi yang lebih dalam, yang akan berdampak buruk bagi kehidupan berbangsa dan bernegara dalam jangka panjang.
Hanya dengan kebijakan yang lebih inovatif dan kolaboratif, Indonesia dapat bangkit dari tekanan deflasi dan kembali menuju jalur pertumbuhan yang inklusif dan berkelanjutan.
Copyright © ANTARA 2025