OTT Asing Menjamur di Media Sosial, Pengamat: Regulasi dan Legalitas Masih Abu-abu
Fenomena menonton iklan drama Cina di platform OTT kian populer, menimbulkan kekhawatiran atas legalitas, pengawasan konten, dan potensi risiko siber.
![OTT Asing Menjamur di Media Sosial, Pengamat: Regulasi dan Legalitas Masih Abu-abu](https://statik.tempo.co/data/2025/02/12/id_1376872/1376872_720.jpg)
TEMPO.CO, Jakarta - Tren menonton dalam format pendek kian marak di media sosial. Sepotong adegan dramatis mulai dari adegan konflik, hingga kisah cinta berbalut intrik—semua itu muncul melalui potongan-potongan adegan singkat yang berseliweran di media sosial. Mulai dari iklan di Instagram, TikTok, X, YouTube Shorts, hingga berbagai platform digital lainnya menjadi medium promosi bagi aplikasi Over The Top () seperti Dramabox, Flex TV, ReelShort, ShortMax, GoodShort, dan sederet nama aplikasi lain yang terus bermunculan.
Strateginya sederhana. Iklan-iklan ini menampilkan adegan konflik yang emosional, menggiring penonton masuk ke dalam cerita, dan mendorong mereka untuk mengunduh aplikasi atau berlangganan, demi mengetahui kelanjutan kisahnya. Dengan durasi yang lebih panjang dibanding iklan konvensional—sekitar 5 hingga 10 menit—konten ini menciptakan kecanduan. Namun, di balik gempuran konten hiburan ini, apakah aplikasi-aplikasi tersebut beroperasi secara legal di Indonesia? Bagaimana perizinan dan pengawasan terhadap iklan OTT asing semacam ini?
OTT dan Regulasinya di Indonesia
OTT adalah layanan penyedia konten digital yang bisa diakses langsung oleh pengguna melalui internet, tanpa melalui jaringan televisi atau operator penyiaran konvensional. Banyak pengguna langsung mengunduh aplikasi OTT tanpa mengetahui apakah platform tersebut terdaftar secara legal.
Padahal, tak semua aplikasi OTT memiliki izin resmi di Indonesia. Aplikasi-aplikasi OTT asing yang menayangkan drama hiburan justru beroperasi di area yang lebih abu-abu. Mereka tidak hanya menayangkan konten hiburan, tapi juga memanfaatkan model bisnis berbasis iklan yang intens, sering kali tanpa pengawasan jelas dari otoritas setempat.
Pengamat keamanan siber dan forensik digital dari Vaksincom, Alfons Tanujaya menyoroti lemahnya regulasi terhadap OTT hiburan. "Layanan OTT di Indonesia diatur oleh Kominfo (sekarang Komdigi), tapi apakah OTT drama dan hiburan ini sesuai dengan nilai-nilai atau norma masyarakat Indonesia? Itu bisa menjadi masalah," ujar Alfons kepada Tempo, Sabtu, 8 Februari 2025.
Berbeda dengan film di bioskop yang diawasi oleh Lembaga Sensor Film (LSF), konten OTT hiburan berjalan nyaris tanpa kontrol. Alfons merinci, ini juga berkaitan erat dengan peredaran serial drama yang sangat cepat dan multi negara. Sehingga masyarakat sulit membedakan dan mengidentifikasi aplikasi mana yang resmi. “Asalkan ada di Play Store atau App Store secara tidak langsung dianggap bisa untuk dikonsumsi,” ungkap Alfons.
Iklan OTT Asing Masih Punya Celah Regulasi
Lebih lanjut, Alfons menjelaskan bahwa peraturan mengenai pengawasan iklan OTT di Indonesia masih abu-abu. KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) memiliki wewenang mengawasi penyiaran televisi dan radio, tapi tidak untuk platform OTT asing. “Dan belum terdengar ada koordinasi KPI dengan Komdigi,” kata dia.
Ia juga menyoroti ketimpangan dalam regulasi, yang berdampak pada ketidakadilan dalam pengawasan konten. “Konten di platform lain diawasi oleh KPI, namun sekarang justru platform yang paling banyak diakses masyarakat dalam mengkonsumsi media dan hiburan malah tidak bisa diawasi karena kurangnya payung hukum,” ungkapnya.
Alfons menilai, ini akibat belum selesainya revisi Undang-Undang Penyiaran yang seharusnya memberi KPI wewenang untuk mengawasi platform digital. Situasi ini mengingatkan pada polemik Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) yang sempat tertunda akibat tarik ulur kepentingan. “Revisi UU Penyiaran terkesan jalan ditempat dan akibatnya konten OTT jadi tidak bisa diawasi dengan baik oleh pihak yang berkompeten, dalam hal ini KPI,” kata Alfons.
Konten Berbahaya dan Risiko Siber dari Aplikasi OTT Ilegal
Selain aspek legalitas, ada pula persoalan isi konten yang ditampilkan dalam iklan aplikasi OTT ini. Tak jarang, iklan yang berdurasi belasan menit ini menyuguhkan adegan kekerasan, ujaran kebencian, hingga perilaku yang secara normatif tidak akan lolos sensor di televisi atau bioskop.
Alfons menilai, pengawasan konten harus menjadi perhatian pemerintah dan Komdigi. Karena mereka merupakan pemangku kebijakan. “Walaupun Komdigi tidak memiliki kompetensi mengawasi konten seperti KPI, tapi setidaknya masyarakat Indonesia harus dilindungi dari konten yang merusak. Baik iklan maupun konten hiburan.” ujar Alfons.
Di luar persoalan konten dan regulasi, ada juga risiko siber yang mengintai pengguna yang tergiur mengunduh aplikasi OTT tanpa mengecek legalitasnya terlebih dahulu. “Secara teknis memang memungkinkan bagi aplikasi menyebarkan malware atau mengumpulkan data penggunanya,” ungkap Alfons. Namun, ia menambahkan bahwa OTT dengan jumlah pengguna besar biasanya berpikir dua kali sebelum melakukan aksi ilegal semacam ini.
“Jika mereka menyebarkan malware dan aplikasi tersebut diblokir oleh Komdigi, kerugian yang mereka alami akan sangat besar,” ujarnya. Yang lebih berbahaya, Alfons menilai, justru praktik abu-abu yang lebih sulit dilacak. “Seperti iklan dewasa, permainan yang awalnya gim biasa namun lama-lama mengarah ke judi online kemungkinan besar akan diloloskan karena ini memang menjadi sumber pendapatan aplikasi,” kata dia.
Hingga berita ini diterbitkan, Tempo telah menghubungi Direktur Jenderal Pengawasan Ruang Digital (Dirjen PRD) Komdigi, Alexander Sabar, untuk meminta tanggapan terkait regulasi iklan OTT asing di Indonesia. Namun, belum ada jawaban resmi.