Pemerintah Targetkan Revisi UU Ketenagakerjaan Rampung Pada 2025

Revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan, dipicu oleh uji materi UU Cipta Kerja, ditargetkan selesai pada tahun ini dengan dukungan penuh dari Kementerian Ketenagakerjaan dan DPR.

 Pemerintah Targetkan Revisi UU Ketenagakerjaan Rampung Pada 2025

Kementerian Ketenagakerjaan menargetkan revisi Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dapat diselesaikan pada tahun ini. Amandemen ini merupakan hasil uji materi UU No. 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja dan akan diinisiasi oleh DPR.

Menteri Ketenagakerjaan Yassierli menyebutkan tujuh poin utama dalam revisi ini, yaitu tenaga kerja asing, perjanjian waktu tertentu, upah, jam kerja, alih daya, cuti, pesangon, dan pemutusan hubungan kerja (PHK).

"Kami melihat semua putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait uji materi UU berbicara tentang penegasan norma. Kami akan mendukung penuh revisi UU Ketenagakerjaan agar segera rampung," ujar Yassierli di Gedung DPR, Jakarta Rabu (5/2).

Selain revisi UU Ketenagakerjaan, implikasi putusan MK juga mencakup revisi sebagian Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan. Oleh karena itu, pihaknya berencana mendukung penyusunan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) untuk revisi UU tersebut.

Dukungan DPR dan Target Penyelesaian

Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja, Indah Anggoro Putri, mengungkapkan bahwa pihaknya telah menyusun rancangan awal revisi UU Ketenagakerjaan. Komisi IX DPR juga telah menginstruksikan untuk mempercepat penyelesaian RUU ini.

Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa revisi UU Ketenagakerjaan harus selesai paling lambat 2026 atau dua tahun setelah diputuskan pada 2024. "Komisi IX DPR meminta agar proses ini dipercepat dan tidak menunggu tenggat waktu dua tahun," kata Indah.

MK menerbitkan putusan terkait UU Cipta Kerja pada 31 Oktober 2024. Sejak saat itu, Kemenaker telah menggelar konsultasi publik dan pertemuan dengan pemangku kepentingan. "Konsultasi publik sangat penting untuk memastikan partisipasi bermakna dari berbagai pihak," kata Indah.

Ia juga menegaskan bahwa Komisi IX DPR menekankan pentingnya kejelasan setiap norma dalam revisi UU untuk menghindari multitafsir.

Putusan MK dan Dampaknya

MK mengabulkan pengujian konstitusional terhadap 21 norma dalam UU Cipta Kerja yang diajukan oleh Partai Buruh dan sejumlah serikat pekerja. Satu pasal tidak diterima, sementara permohonan lainnya ditolak karena dianggap tidak beralasan menurut hukum.

Norma-norma yang dikabulkan meliputi:

Pasal 42 ayat (1) dan (4), Pasal 56 ayat (3), Pasal 57 ayat (1), Pasal 64 ayat (2), Pasal 79 ayat (2) huruf b dan ayat (5), Pasal 88 ayat (1), (2), dan (3) huruf b.

Pasal 88C, Pasal 88D ayat (2), Pasal 88F, Pasal 90A, Pasal 92 ayat (1), Pasal 95 ayat (3), Pasal 98 ayat (1), Pasal 151 ayat (3) dan (4), Pasal 157A ayat (3), serta Pasal 156 ayat (2) dalam UU Cipta Kerja.

Sementara itu, satu permohonan yang tidak diterima adalah Pasal 156 ayat (4) dalam Pasal 81 angka 47 karena dianggap prematur oleh MK.

Gugatan ini diajukan oleh Partai Buruh, Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI).

Mereka mengajukan 71 poin petitum dalam tujuh klaster utama, yakni tenaga kerja asing, perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), pekerja alih daya, cuti, upah dan minimum upah, pemutusan hubungan kerja (PHK), serta uang pesangon dan hak pekerja lainnya.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia, Said Iqbal, menyambut baik putusan ini dan menyebutnya sebagai kemenangan bagi buruh. "UU Cipta Kerja, khususnya klaster ketenagakerjaan, sudah lumpuh mulai hari ini," ujarnya di Gedung MK, Jakarta, tahun lalu.

Reporter: Andi M. Arief