Pemprov Jakarta Bolehkan ASN Poligami, Komnas Perempuan Tegaskan Perlunya Revisi UU Perkawinan
Komnas Perempuan menegaskan perlunya revisi UU Perkawinan buntut terbitnya Pergub Nomor 2 Tahun 2025 terkait diperbolehkannya ASN berpoligami.
TRIBUNNEWS.COM - buka suara terkait terbitnya Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 2 Tahun 2025 tentang Tata Cara Pemberian Izin Perkawinan dan Perceraian oleh Pj Gubernur Jakarta, , tertanggal 6 Januari 2025.
Adapun aturan yang menjadi sorotan adalah diperbolehkannya aparatur sipil negara (ASN) laki-laki untuk beristri lebih dari satu atau berpoligami.
Komnas Perempuan menganggap terbitnya aturan ini menjadi peringatan akan perlunya revisi UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
"Polemik tentang Pergub Jakarta Nomor 2 Tahun 2025 menunjukkan kembali urgensi perubahan UU Perkawinan yang telah berusia 50 tahun sejak disahkan melalui UU Nomor 1 Tahun 1974, termasuk memperketat pengaturan beristiri lebih dari satu," kata dalam siaran pers yang diterima Tribunnews.com, Sabtu (18/1/2025).
Komnas Perempuan juga menganggap Pasal 5 ayat 1 dalam Pergub tersebut juga bersifat diskriminatif kepada perempuan.
Pasalnya, dalam pasal tersebut, laki-laki bisa berpoligami dengan syarat istri tidak dapat menjalankan kewajibannya; istri mengalami cacat badan atau mengidap penyakit yang tidak dapat disembuhkan; serta istri tidak dapat melahirkan keturunan setelah 10 tahun perkawinan.
"Alasan istri tidak dapat melakukan kewajibannya bersifat subjektif, kerap mengacu pada konstruksi masyarakat patriarki yang menempatkan perempuan dalam posisi subordinat."
"Alasan tidak dapat melahirkan keturunan meneguhkan posisi subordinat perempuan di dalam masyarakat yang menempatkan penilaian pada kapasitas reproduksi perempuan serta alasan cacat badan merupakan sikap diskriminatif berbasis abelitas terhadap perempuan penyandang disabilitas," tegas .
Di sisi lain, Komnas Perempuan juga menyebut penyebab adanya praktik poligami karena salah satunya akibat tindak kekerasan terhadap perempuan.
Baca juga:
Kekerasan tersebut, kata , membuat adanya penderitaan psikologis terhadap perempuan.
"Perkawinan kerap diawali dari perselingkuhan, yang mengakibatkan penderitaan psikologi dan juga penelantaran pada pasangan, termasuk dan tidak terbatas pada pemberian nafkah."
"Tindakan serupa ini merupakan bentuk kekerasan dalam rumah tangga, khususnya dalam bentuk kekerasan fisik dan penelantaran," kata .
Komnas Perempuan, mengutip data Badan Peradilan Agama (Badilag) tahun 2023, mengungkapkan dari 300 ribuan laporan perceraian, salah satunya karena alasan adanya .
"Pada tahun 2023, Badan Peradilan Agama (Badilag) mencatat 391.296 pengajuan perceraian, 701 di antaranya adalah dengan alasan , 32.646 karena ditinggalkan salah satu pihak, dan 240.987 karena perselisihan terus menerus," jelasnya.