Pengamat: Lelang Frekuensi 700 MHz Bermanfaat untuk Tambah Coverage dan Tingkatkan Jaringan 5G
Jika harga IPFR terlalu tinggi seperti selular, maka objektif pemerintah untuk menyediakan internet murah fixed broadband tak akan tercapai.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kementerian Komunikasi dan Digital Republik Indonesia (Komdigi) diminta fokus menyelesaikan pita 700 MHz sebelum memulai pita 1,4 GHz.
Dosen Sekolah Teknik Elektro dan Informatika (STEI) ITB Agung Harsoyo mengatakan bahwa pita 700 MHz sangat bermanfaat untuk menambah coverage dan meningkatkan kualitas internet 4G atau 5G.
“Komdigi sudah menerbitkan PM 10 tahun 2023 tentang 700 MHz dan 26 Ghz. Hingga saat ini 700 MHz dan 26 Ghz belum dilakukan. Selain itu dari sisi ekosistem, 700 MHz dan 26 Ghz sudah mature ketimbang 1.4GHz,” ujar Agung dalam keterangan tertulis dikutip Senin, 3 Februari 2025.
Komdigi saat ini tetap mengadakan konsultasi publik terkait rancangan peraturan Menteri Komunikasi dan Digital (RPM) tentang penggunaan spektrum frekuensi 1.4 GHz. Masyarakat dapat menyampaikan tanggapan atas RPM hingga 2 Februari 2024.
Baca juga:
Menanggapi perkembangan ini, Agung tetap mengapresiasi langkah yang melakukan konsultasi publik terhadap RPM penggunaan spektrum 1.4 GHz. Langkah ini dinilai merupakan bagian dari Good Corporate Governance (GCG) yang dilakukan guna mendapatkan masukan dari masyarakat mengenai regulasi yang akan dibuat.
“Terlepas dari masukan saya sebelumnya untuk memprioritaskan pita 700 MHz, saya berharap pemerintah dapat mencapai tujuannya dari RPM ini. Kita harus tetap mendukung keputusan pemerintah,” ungkap Agung.
Agar objektif pemerintah dapat tercapai, mantan komisioner Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia periode 2018 – 2022 ini memberikan beberapa catatan penting kepada . Dalam nanti, Agung mengingatkan tentang konsolidasi industri telekomunikasi di Indonesia. telah mendorong terjadinya konsilidasi operator selular.
“Saya berharap konsolidasi industri ini dapat terus berjalan. Tak hanya di operator selular saja. Tetapi juga di penyelengara jasa internet. Sehingga saya berharap nantinya 1.4 GHz tidak menambah jumlah operator penyelenggara jasa internet," kata Agung.
"Dengan jumlah operator selular yang saat ini ada dan anggota APJII yang mencapai 1275 menurut saya sudah terlalu banyak. Ini tidak sehat bagi industri,” lanjutnya.
Karena 1.4 GHz akan dipergunakan untuk meningkatkan penetrasi fixed broadband, sehingga Agung mengharapkan dapat menentukan harga IPFR yang affordable bagi industri.
Jika harga IPFR terlalu tinggi seperti selular, maka objektif pemerintah untuk menyediakan internet murah fixed broadband tak akan tercapai.
“Dari draft RPM ini akan menggunakan 1.4 GHz untuk penetrasi fixed broadband dan akan membagi wilayah layanan berdasarkan regional. Karena karakteristiknya beda dengan selular, maka harga IPFR harus terjangkau. Sehingga BHP nya tidak bisa disamakan dengan selular,”papar Agung.
Indonesia pernah menerapkan mengalokasikan untuk layanan Broadband Wireless Access (BWA) berdasarkan wilayah. Konsep BWA berdasarkan wilayah tersebut terbukti gagal dan seluruh perusahaan pemegang lisensi BWA menghentikan layanannya.
Karena menghentikan layanannya, perusahaan BWA lokal tersebut mengembalikan yang dikuasainya. Beberapa perusahaan adalah PT. Bakrie Telecom Tbk., PT Jasnita Telekomindo (Jasnita) dan PT Berca Hardayaperkasa.
Prinsip dasar adalah sumberdaya terbatas yang dimiliki negara. Sumberdaya tersebut harus optimal dipergunakan untuk memberikan kesejahteraan bagi masyarakat dan negara. Karena pengalaman tersebut Agung berharap dapat melakukan secara nasional untuk 1,4 GHz.
“Agar terjadi persaingan usaha yang sehat, dapat menetapkan 2 pemenang 1.4 GHz secara nasional. Dengan lebar pita 80Mhz di 1.4 GHz memang tidak optimal untuk satu operator menyelenggarakan 5G. Agar menciptakan persaingan usaha yang sehat harus mempertimbangkan adanya lebih dari 1 pemain di 1.4 GHz. Dengan adanya UU Cipta Kerja, kerjasama dan spektrum sharing dapat dilakukan untuk penerapan teknologi 5G. Sehingga objektif untuk mewujudkan kecepatan akses sampai dengan 100 Mbps masih dapat tercapai,” terang Agung.
Namun jika tetap akan memberlakukan 1.4 GHz berdasarkan wilayah, Agung menyarankan agar pembagian wilayah harus mempertimbangkan daerah yang gemuk dan daerah yang kurus serta harus melibatkan lebih dari satu operator telekomunikasi.
“Jika tak mempertimbangkan daerah yang gemuk dan kurus, maka kecenderungannya operator yang hanya memilih daerah yang menguntungkan saja dan enggan untuk membangun di wilayah yang kurus. Sehingga objektif pemerintah untuk memperluas penetrasi broadband di seluruh wilayah Indonesia dengan harga yang terjangkau tak tercapai,” kata Agung.