Perang Dagang Trump Dinilai Mengancam Penguatan PMI Manufaktur Indonesia
Ancaman perang dagang Presiden AS Donald Trump disebut mengancam penguatan PMI Manufaktur Indonesia yang sedang dalam level ekspansi.
Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Donald Trump pada tahun ini akan menciptakan makin meluas. Tak hanya Cina, presiden ke-47 AS itu kini juga menyasar Meksiko dan Kanada.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira mengatakan kondisi ini bisa mengancam penguatan manufaktur Indonesia pada awal tahun ini. “Khususnya ketika Cina masih mengalami kelebihan produksi dan domestik konsumsi di Cina masih rendah, jadi mereka butuh pasar baru,” katanya kepada Katadata.co.id, Selasa (4/2).
Bhima menyebut, Indonesia berpotensi makin dibanjiri barang-barang murah. Hal ini mulai dari mainan, tekstil, pakaian jadi, alas kaki, hingga elektronik dari Tiongkok “Kalau ini enggak dipersiapkan mitigasinya, efeknya adalah banyak UMKM (usaha mikro, kecil, dan menengah) gulung tikar,” ujar Bhima.
Pada akhirnya, RI dipastikan akan menghadapi tantangan mempertahankan atau meningkatkan Purchasing Managers' Index atau PMI Manufaktur ke depan setelah perang dagang AS meluas. Dia mengatakan, indeks tersebut, yang sudah meningkat pada awal 2025 ini, bisa hanya sementara saja ketika berhadapan dengan lonjakan barang-barang impor yang masuk ke Indonesia.
Meski begitu, terdapat peluang dalam kondisi tersebut. Khususnya jika relokasi industri dari Cina, Meksiko, Kanada dilakukan ke Indonesia. “Misalnya, Kanada mungkin tertarik dengan hilirisasi mineral. Kemudian dari Cina tertarik, misalnya, untuk komponen energi terbarukan dan industri untuk pertanian mendorong swasembada pangan di Indonesia,” ujar Bhima.
Mengawali 2025, PMI Manufaktur Indonesia berada di level ekspansi, yaitu 51,9. Ini merupakan capain tertinggi sejak Juni 2024.
Perang Tarif Trump Bukan Berkah untuk RI
Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin menilai, angka PMI Manufaktur mengandung unsur cyclical (musiman). Biasanya indeks ini naik pada akhir tahun dan berlanjut hingga Ramadan atau Lebaran. “Jadi, kenaikannya bukan sesuatu yang Istimewa,” katanya.
Perang tarif yang akan meluas pada era Trump tahun ini bukan merupakan berkah bagi ekspor Indonesia. Sebab, negara ini tidak memiliki produk yang bisa menggantikan barang yang menjadi subjek tarif tersebut.
“Bahkan, jika perang tarif terus mengalami eskalasi, kita justru akan dibanjiri produk asing, khususnya Cina dan ini buruk bagi sektor manufaktur,” ujar Wijayanto.
Tarif Meksiko dan Kanada Ditunda
Setelah Trump mengumumkan ancaman perang dagangnya, Perdana Menteri Kanada, Justin Trudeau dan Presiden Meksiko, Claudia Sheinbaum sepakat untuk memperkuat upaya penegakan hukum di perbatasan. Dikutip dari Reuters, Senin (3/2), langkah itu dilakukan untuk merespons tuntutan Trump untuk menindak tegas imigrasi dan penyelundupan narkoba.
Dengan kesekapakatan ini, Trump akan menunda sesementara tarif impor 25% untuk Kanada dan Meksiko. Penundaannya berlaku hingga 30 hari ke depan. Melalui akun X pribadinya, Trudeau mengaku sudah menerima panggilan telepon dengan Trump.
Kanada akan mengerahkan hampir 10 ribu petugas garis depan untuk membantu mengamankan perbatasan, memasukkan kartel narkoba sebagai teroris, khususnya soal fentanil, dan menindak tegas pencucian uang.
"Tarif yang diusulkan akan dihentikan sementara setidaknya selama 30 hari sementara kami bekerja sama,” ujar Trudeau.
Sheinbaum juga akan mengirimkan 10 ribu tentara ke perbatasan untuk menghentikan penyebaran fentanil. “Percakapan yang baik dengan Presiden Trump dengan penuh rasa hormat terhadap hubungan dan kedaulatan kita,” kata Sheinbaum.
Perang Dagang AS dengan Cina
Meski ada penundaan untuk Meksiko dan Kanada, perang dagang AS dengan Cina masih dalam rencana Trump. AS tetap mengenakan tarif hingga 10% untuk barang impor dari Cina yang akan berlaku hari ini.
Seorang Juru Bicara Gedung Putih mengatakan Trump tidak akan berbicara dengan Presiden China Xi Jinping hingga akhir pekan. Trump memperingatkan akan menaikkan tarif lebih lanjut terhadap Beijing.
“Cina diharapkan akan berhenti mengirim fentanil dan jika tidak, tarif akan naik jauh lebih tinggi,” ujar Juru Bicara Gedung Putih.