Presiden Trump merilis sejumlah perintah eksekutif – Sejarah, definisi dan mengapa perintah eksekutif disebut topik sensitif?
Sesaat setelah dilantik sebagai presiden Amerika Serikat, pada Senin (20/01), Donald Trump menandantangani sejumlah perintah eksekutif.…
Sesaat setelah dilantik sebagai presiden Amerika Serikat, pada Senin (20/01), Donald Trump menandatangani sejumlah perintah eksekutif di hadapan para pendukungnya di suatu arena olahraga di Washington DC.
"Dapatkah Anda membayangkan Joe Biden melakukan ini?" tanyanya kepada hadirin.
Langkah Trump akan mencakup perintah eksekutif, yang mengikat secara hukum, serta arahan presiden yang biasanya tidak mengikat.
Trump telah menjanjikan perintah eksekutif yang amat beragam, mulai dari meningkatkan program kecerdasan buatan, membentuk Departemen Efisiensi Pemerintah (Doge), hingga membuka arsip soal pembunuhan John F Kennedy pada 1963.
Selama masa jabatan sebelumnya, Trump menandatangani 220 perintah eksekutif, beberapa di antaranya digugat di pengadilan.
Apa itu perintah eksekutif?
Perintah eksekutif adalah perintah tertulis yang dikeluarkan oleh presiden kepada pemerintah federal yang tidak memerlukan persetujuan Kongres.
Perintah tersebut bisa mencakup perubahan kebijakan yang dramatis, seperti persetujuan Trump untuk membangun dua jaringan pipa minyak yang ditentang dengan sengit pada 2017, hingga urusan biasa, seperti instruksi Barack Obama tentang penutupan kantor-kantor pemerintah selama setengah hari pada malam Natal 2015.
Kewenangan untuk mengeluarkan perintah tersebut berakar pada Pasal II Konstitusi AS, yang menyatakan: "Kekuasaan eksekutif akan dilimpahkan kepada presiden Amerika Serikat."
Mengapa presiden merilis perintah eksekutif?
Perintah eksekutif terkadang dibuat selama masa perang atau untuk mencegah krisis dalam negeri.
Pada Februari 1942, Presiden Franklin D Roosevelt menandatangani perintah eksekutif yang mengarah pada pembentukan pusat penahanan untuk sekitar 120.000 warga Amerika keturunan Jepang.
Pada 1952, Presiden Harry Truman mengeluarkan perintah yang menempatkan industri baja di bawah kendali pemerintah guna menghindari pemogokan.
Pada hari pertamanya menjabat, 20 Januari 2021, Biden menandatangani perintah yang memulai proses bergabung kembali dengan perjanjian iklim Paris 2015, yang secara resmi ditinggalkan oleh pendahulunya, Trump.
Menteri Luar Negeri Biden, Antony Blinken, mengatakan bahwa perintah tersebut "untuk membantu kita semua menghindari pemanasan global yang dahsyat".