Amnesty International Catat Kemunduran HAM selama 100 Hari Pemerintahan Prabowo

Amnesty International Indonesia menilai kondisi HAM selama 100 hari Prabowo-Gibran melanjutkan kemunduran dari rezim sebelumnya.

Amnesty International Catat Kemunduran HAM selama 100 Hari Pemerintahan Prabowo

TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia menyebut kondisi hak asasi manusia (HAM) selama 100 hari pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka cenderung mengkhawatirkan. Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia mengatakan selama periode 20 Oktober 2024 hingga 20 Januari 2025 kekuasaan Prabowo diwarnai oleh berbagai pelanggaran HAM.

"Cenderung mengkhawatirkan, karena tak mengalami kemajuan berarti dan melanjutkan kemunduran sebelumnya," kata Usman melalui keterangan tertulis pada Jumat, 24 Januari 2025.

Dia menuturkan, kemunduran HAM dalam 100 hari pertama pemerintahan baru ini tak sulit untuk dilacak. Buktinya, ketika Menteri Koordinator Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra sejak hari pertama bertugas menyatakan tidak pernah terjadi pelanggaran berat HAM di Indonesia.

Menurut Yusril, peristiwa 1998 bukanlah . Kemudian, dia berkelit dengan mengatakan bahwa pemerintah fokus melihat ke depan, bukan ke masa lalu. Sikap itu, menurut Usman, mencerminkan tiadanya pemahaman hukum yang benar. “Tak heran bila pelanggaran HAM di masa kini tak mendapat perhatian serius negara. Ini awal yang buruk bagi kondisi HAM di 100 hari pertama maupun lima tahun ke depan,” ujar Usman.

Berbagai kasus selama periode 100 hari pertama, kata Usman, adalah kartu kuning pemerintahan baru. Pelanggaran hak asasi ini adalah masalah serius dan pemerintah harus memprioritaskan penegakan HAM.

Dia menyinggung pembentukan Kementerian HAM yang disebut nihil bergerak untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu. Padahal, ada sederet pelanggaran berat HAM masa lalu seperti tragedi 1965, penculikan dan penembakan mahasiswa Trisakti, Semanggi I dan II 1998/1999, dan pembunuhan Munir 2004, yang belum menemukan kejelasan. 

Ketiadaan langkah negara hanya akan memperkuat impunitas pelaku dan berisiko terjadi pengulangan kasus serupa di masa depan. “Negara harus menunjukkan komitmen nyata untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM masa lalu. Ini termasuk menegakkan hukum dan keadilan bagi korban, menjamin pelanggaran serupa tak terulang di masa depan,” ujar Usman.

Sebelumnya, Yusril mengatakan peristiwa kekerasan pada 1998 tidak termasuk kategori pelanggaran HAM berat. Dia menyebut, tidak ada kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia dalam beberapa puluh tahun terakhir. 

"Pelanggaran HAM berat itu kan genosida, ethnic cleansing. Mungkin terjadi justru pada masa kolonial, pada waktu awal kemerdekaan kita (pada) 1960-an," kata Yusril seusai pelantikannya sebagai anggota Kabinet Merah Putih pada Senin, 21 Oktober 2024. 

Menurut dia, tak semua kejahatan HAM bisa disebut sebagai pelanggaran HAM berat, meskipun kejahatan tersebut melanggar hak asasi manusia. Pernyataan Yusril itu mengingkari keputusan Komnas HAM yang telah menyatakan 12 peristiwa kekerasan sebagai pelanggaran HAM berat masa lalu.

Ada tiga peristiwa kekerasan pada 1997-1998 yang diyatakan masuk kategori pelanggaran HAM berat masa lalu. Peristiwa tersebut adalah penghilangan orang secara paksa 1997-1998, peristiwa kerusuhan Mei 1998, serta peristiwa Trisakti dan Semanggi 1-2 pada 1998-1999.Ketiga peristiwa tersebut terjadi menjelang lengsernya Presiden Suharto, yang juga mertua Prabowo Subianto, dan dimulainya era Reformasi. Prabowo juga disebut terlibat dalam peristiwa penghilangan orang secara paksa pada 1997-1998.

Jika ditarik ke rezim sebelumnya, pernyataan Yusril itu juga bertentangan dengan sikap Presiden ke-7 Indonesia Joko Widodo. Di era pemerintahannya, Jokowi mengakui adanya 12 peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu. Eks Gubernur Jakarta itu pun menindaklanjutinya secara non-yudisial, dengan cara memberi bantuan dan santunan kepada korban atau keluarga korban. 

"Saya telah membaca dengan saksama dari tim penyelesaian non-yudisial pelanggaran hak asasi manusia yang berat," kata Jokowi pada Rabu, 11 Januari 2023. 

Yusril sempat mengklarifikasi pernyataannya mengenai peristiwa 1998 yang dia sebut bukan pelanggaran HAM berat. Yusril menyebut pernyataannya disalahpahami, sebab dia mengklaim tidak terlalu mendengar pertanyaan wartawan.

"Kemarin tidak begitu jelas apa yang ditanyakan kepada saya, apakah terkait masalah genocide ataukah ethnic cleansing? Kalau memang dua poin itu yang ditanyakan, memang tidak terjadi pada waktu 1998," kata Yusril di kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa, 22 Oktober 2024.

Riri Rahayu dan Daniel A. Fajri berkontribusi dalam penulisan artikel ini.Pilihan Editor: