Beijing minta pakar UNHCR objektif soal orang Uighur di Thailand

Kementerian Luar Negeri China meminta agar kelompok pakar dari UNHCR bersikap objektif dalam memberikan penilaian ...

Beijing minta pakar UNHCR objektif soal orang Uighur di Thailand

Beijing (ANTARA) - Kementerian Luar Negeri China meminta agar kelompok pakar dari UNHCR bersikap objektif dalam memberikan penilaian mengenai sejumlah warga etnis Uighur yang saat ini berada di Thailand.

"Para ahli PBB, apa pun peran mereka, harus memenuhi mandat mereka dengan cara yang adil dan objektif sesuai dengan tujuan dan prinsip Piagam PBB alih-alih berbicara secara tidak bertanggung jawab tentang masalah tersebut," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Mao Ning dalam konferensi pers di Beijing pada Rabu (22/1).

Sebelumnya pada Selasa (21/1), kelompok pakar dari Badan Pengungsi PBB (United Nations High Commissioner for Refugees atau UNHCR) menyampaikan pernyataan agar pemerintah Thailand segera menghentikan kemungkinan pemulangan 48 warga etnis Uighur ke China.

Alasannya adalah karena kemungkinan akan adanya penyiksaan atau perlakuan atau hukuman tidak manusiawi jika mereka dipulangkan.

Para pakar menyampaikan hal tersebut menyusul seorang tahanan mengatakan mereka melakukan mogok makan sejak 10 Januari sebagai bentuk protes terhadap deportasi.

"Para pakar PBB seharusnya menaati Kode Etik untuk Pemegang Mandat Prosedur Khusus Dewan Hak Asasi Manusia, dan memastikan bahwa tidak ada yang mereka katakan atau lakukan mengganggu kedaulatan peradilan negara-negara anggota PBB dan kerja sama peradilan normal negara-negara tersebut," tambah Mao Ning.

Persoalan kepulangan orang Uighur dari Thailand ke China, ungkap Mao Ning, merupakan masalah hukum dua negara yang berdaulat.

"Posisi China imigrasi ilegal konsisten dan jelas. Kami dengan tegas melawan aktivitas imigrasi ilegal dalam bentuk apa pun dan menentang tindakan apa pun yang membenarkan atau bahkan mendukung imigrasi ilegal," tambah Mao Ning.

China, ungkap Mao Ning, adalah negara yang menjunjung tinggi hukum dan akan menangani masalah yang relevan dengan memperkuat penegakan hukum internasional dan kerja sama keamanan.

Ke-48 warga Uighur itu disebut sebagai bagian dari kelompok yang lebih besar, yang terdiri dari sekitar 350 orang, yang diamankan di Thailand pada 2014, setelah melintas perbatasan Thailand-China secara ilegal untuk mencari perlindungan di Thailand.

Mereka diduga ditahan tanpa akses komunikasi selama lebih dari satu dekade, tanpa akses kepada pengacara, anggota keluarga, perwakilan dari Badan PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR) maupun Badan PBB untuk Pengungsi (UNHCR).

UNHCR juga menyebut 23 dari 48 orang Uighur itu menderita kondisi kesehatan serius, termasuk diabetes, disfungsi ginjal, kelumpuhan tubuh bagian bawah, penyakit kulit, penyakit gastrointestinal, serta sakit jantung dan paru-paru.

Para pakar mengingatkan agar tahanan nonkriminal ditempatkan secara terpisah dan dalam kondisi yang sesuai dengan status mereka dan harus memiliki akses ke pelayanan hukum, medis maupun untuk dikunjungi oleh badan pemantau HAM independen.

Lima tahanan Uighur juga dilaporkan meninggal dalam penahanan di Thailand dalam 11 tahun terakhir, dua di antaranya adalah bayi yang baru lahir dan anak berusia 3 tahun karena kondisi penahanan yang tidak memadai.

Para pakar juga mendesak pihak berwenang Thailand untuk memberikan kepada para tahanan akses untuk berkomunikasi dengan perwakilan hukum mereka dan badan-badan PBB yang relevan.

Kekhawatiran bahwa 48 orang tersebut akan segera dipindahkan ke China muncul karena pada 8 Januari otoritas Thailand dilaporkan memberikan dokumen "pemulangan sukarela" kepada para tahanan untuk ditandatangani.

Thailand diketahui bukan negara pihak dalam Konvensi Pengungsi 1951 dan tidak mengakui konsep suaka. Thailand juga memiliki sejarah mendorong pengungsi kembali ke negaranya termasuk pada 2015 Thailand mendeportasi 100 warga Uighur kembali ke China.

Baca juga:

Baca juga:

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Primayanti
Copyright © ANTARA 2025