BRICS dinilai dapat jadi sumber pendanaan transisi energi Indonesia
Direktur Eksekutif Yayasan Indonesia CERAH Agung Budiono mengatakan Indonesia dapat memanfaatkan keanggotaannya di ...
Mungkin, kalau diplomasi iklim Indonesia kuat dan minta dukungan pendanaan yang lebih konkret ke China, bakal ada peluang positif
Jakarta (ANTARA) - Direktur Eksekutif Yayasan Indonesia CERAH Agung Budiono mengatakan Indonesia dapat memanfaatkan keanggotaannya di blok ekonomi Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan (BRICS) untuk mendapatkan pendanaan transisi energi.
"BRICS barangkali bisa menjadi peluang untuk menutup gap (pendanaan) ini," ujar Agung ketika dihubungi ANTARA di Jakarta, Rabu.
Pernyataan tersebut merespons keluarnya Amerika Serikat dari Perjanjian Paris (Paris Agreement), yang berdampak pada program pendanaan, seperti Just Energy Transition Partnership (JETP).
Program JETP bergantung pada dukungan negara-negara maju, yang mana AS dan Jepang adalah pemimpinnya.
Oleh karena itu, keluarnya AS dari Perjanjian Paris dapat berimplikasi pada penundaan atau pengurangan dana.
Baca juga:
Agung melihat terdapat peluang kepemimpinan China untuk menjadi green leader dalam mendukung transisi energi di Indonesia.
"Misalnya, dulu ada wacana Green Belt and Road Initiative, mungkin itu bisa benar-benar diseriusi dan dieksekusi," ucap Agung.
China, lanjut dia, bisa menyediakan pendanaan untuk ekspansi energi terbarukan sesuai pernyataan Presiden Prabowo Subianto di G20 yang akan membangun 75 GW energi terbarukan dalam 15 tahun ke depan.
"Tentu, ini juga tergantung dari kemauan China sendiri," ucapnya.
Agung juga menyoroti kecenderungan China yang pada saat bersamaan masih secara agresif memanfaatkan energi fosil.
Misalkan, di beberapa smelter nikel yang dimiliki China, pembangunan captive power plant juga masih berlangsung.
"Mungkin, kalau diplomasi iklim Indonesia kuat dan minta dukungan pendanaan yang lebih konkret ke China, bakal ada peluang positif," sebut Agung.
Sebelumnya, Presiden Amerika Serikat Donald Trump menyatakan bahwa Amerika Serikat akan menarik diri dari Perjanjian Iklim Paris karena menganggap perjanjian tersebut tidak adil dan berat sebelah.
Perjanjian Paris tentang perubahan iklim diadopsi pada 2015 oleh 195 anggota Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim.
Tujuannya adalah untuk membatasi peningkatan suhu rata-rata global hingga jauh di bawah dua derajat Celcius di atas tingkat praindustri, dan sebaiknya mendekati 1,5 derajat Celcius.
Baca juga:
Baca juga:
Pewarta: Putu Indah Savitri
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2025