Efisiensi Anggaran vs Pelebaran Kabinet, Kontradiksi Kebijakan Fiskal Pemerintah?
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Indonesia telah mengumumkan kebijakan efisiensi anggaran dengan memangkas belanja negara hingga Rp 306,69 triliun atau sekitar 8,4 persen dari total APBN 2025. Namun, di saat yang...
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Indonesia telah mengumumkan kebijakan dengan memangkas belanja negara hingga Rp 306,69 triliun atau sekitar 8,4 persen dari total 2025. Namun, di saat yang sama pemerintahan Presiden Prabowo Subianto justru memperluas struktur kabinet dengan menambah jumlah kementerian dari 34 menjadi 48 dan menggandakan posisi wakil menteri dari 18 menjadi 55.
Kebijakan ini menuai kritik karena dianggap bertolak belakang. Di satu sisi, pemerintah mengklaim efisiensi anggaran dilakukan demi stabilitas fiskal. Namun, di sisi lain, pelebaran kabinet berpotensi meningkatkan beban anggaran negara.
“Langkah pemangkasan belanja negara sebesar Rp 306,69 triliun ini tidak sejalan dengan ekspansi birokrasi yang justru menambah pos pengeluaran, terutama dalam hal gaji pejabat, fasilitas dinas, dan operasional kementerian baru,” tulis laporan Indonesia Economic Outlook Kuartal I 2025 yang disusun oleh Kelompok Kajian Makroekonomi, Keuangan, dan Ekonomi Politik LPEM FEB UI dikutip Rabu (5/2/2025).
Berdasarkan Surat Edaran Kementerian Keuangan Nomor S-37/MK.02/2025, efisiensi anggaran dilakukan dengan mengurangi 16 jenis belanja operasional kementerian dan lembaga. Beberapa di antaranya adalah pemangkasan belanja alat tulis kantor hingga 90 persen, pengurangan anggaran perjalanan dinas sebesar 53,9 persen, serta penghapusan sebagian belanja seremonial hingga 56,9 persen.
Laporan LPEM FEB UI menyoroti efisiensi anggaran berisiko menghambat program-program penting, terutama di sektor pendidikan dan infrastruktur. Pemangkasan belanja bisa memperlambat program renovasi sekolah, pembangunan sekolah unggulan, serta proyek-proyek strategis nasional. Selain itu, pemotongan belanja operasional di kementerian dan lembaga dapat menurunkan efektivitas layanan publik.
Lebih jauh, kebijakan ini dilakukan dalam situasi ekonomi yang tidak stabil. Perang dagang baru antara Amerika Serikat dan China serta ketidakpastian kebijakan moneter The Fed diprediksi akan semakin menekan nilai tukar rupiah dan meningkatkan risiko inflasi. Tanpa strategi mitigasi yang jelas, pemangkasan anggaran ini bisa berujung pada perlambatan pertumbuhan ekonomi.
Di sisi lain, pelebaran kabinet dengan penambahan 14 kementerian dan 37 wakil menteri baru justru mengarah pada pembengkakan birokrasi. Setiap kementerian tambahan akan membutuhkan anggaran operasional, gaji pegawai, fasilitas dinas, serta biaya administrasi yang tidak sedikit.
Saat ini, proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2025 berada di kisaran 5,0 persen hingga 5,1 persen. Tanpa dorongan dari belanja pemerintah, laju pertumbuhan ekonomi bisa tertahan.
“Belanja pemerintah masih menjadi salah satu pendorong utama pertumbuhan ekonomi nasional. Jika pemangkasan anggaran dilakukan secara agresif tanpa strategi yang tepat, dampaknya bisa melemahkan daya beli masyarakat dan memperlambat ekspansi sektor riil,” tulis laporan tersebut.