Indeks Risiko Iklim: Indonesia Termasuk Negara Paling Rentan Terdampak Cuaca Ekstrem

REPUBLIKA.CO.ID, BERLIN -- Jumlah dan intensitas peristiwa cuaca ekstrem, seperti banjir, kekeringan, badai, dan gelombang panas meningkat dan secara bertahap menjadi normal baru di beberapa wilayah dunia. Indeks Risiko Iklim...

Indeks Risiko Iklim: Indonesia Termasuk Negara Paling Rentan Terdampak Cuaca Ekstrem

REPUBLIKA.CO.ID, BERLIN -- Jumlah dan intensitas peristiwa cuaca ekstrem, seperti banjir, kekeringan, badai, dan gelombang panas meningkat dan secara bertahap menjadi normal baru di beberapa wilayah dunia. Indeks Risiko Iklim 2025, yang diterbitkan organisasi lingkungan Germanwatch, menunjukkan selama 30 tahun terakhir, negara-negara Selatan, termasuk Indonesia, sangat terpengaruh dampak peristiwa cuaca ekstrem.

Negara-negara Selatan merupakan istilah yang digunakan untuk merujuk pada negara-negara yang umumnya terletak di belahan bumi selatan. Tetapi lebih dari itu, istilah ini juga mencakup aspek ekonomi, sosial, dan politik. Negara-negara yang disebut Negara Selatan, antara lain, Nigeria, Kenya, Afrika Selatan, Brasil, Argentina, Chile, India, Indonesia, dan Filipina.

Indeks Risiko Iklim 2025 menganalisa bagaimana peristiwa yang berhubungan dengan iklim memengaruhi negara-negara dan memeringkat negara-negara berdasarkan dampak ekonomi dan manusia (kematian, korban terdampak, luka-luka, dan tunawisma), dengan negara yang paling terdampak berada di peringkat pertama.

Antara tahun 1993 dan 2022, lebih dari 9.400 peristiwa cuaca ekstrem terjadi. Peristiwa ini menewaskan hampir 800 ribu orang dan menyebabkan kerugian ekonomi sebesar 4,2 triliun dolar AS (disesuaikan dengan inflasi).

Sementara, negara-negara seperti Cina, India, dan Filipina terdampak peristiwa ekstrem yang berulang. Dominika, Honduras, Myanmar, dan Vanuatu paling terdampak peristiwa ekstrem yang luar biasa.

Italia, Spanyol, dan Yunani, merupakan tiga negara Uni Eropa di antara sepuluh negara yang paling terdampak peristiwa cuaca ekstrem di seluruh dunia selama 30 tahun terakhir. "Krisis iklim semakin menjadi risiko keamanan global dan harus ditangani dengan tindakan multilateral yang berani. Para pemimpin di Konferensi Keamanan Munich yang digelar akhir pekan ini tidak dapat membahas tantangan keamanan tanpa membahas perubahan iklim," kata Kepala Divisi Kebijakan Iklim Internasional Germanwatch Laura Schaefer dalam siaran pers Germanwatch, Rabu (12/2/2025).  

Schaefer mengatakan selama tiga dekade terakhi, negara-negara di Selatan dilanda cuaca ekstrem. Jika data dari negara-negara ini selengkap data dari banyak negara-negara Utara, tingkat dampak ekonomi dan manusia yang lebih besar mungkin terlihat.

Negara-negara Utara merujuk pada negara-negara yang lebih maju secara ekonomi dan memiliki standar hidup yang lebih tinggi, seperti Amerika Serikat, Kanada, negara-negara Eropa Barat, Jepang, dan Australia.

"Ada semakin banyak tanda kita memasuki fase kritis dan tidak terduga dari krisis iklim, yang selanjutnya akan memperburuk konflik, mengguncang masyarakat, dan berdampak negatif terhadap keamanan manusia di seluruh dunia," kata Schaefer.

Indeks Risiko Iklim yang baru menunjukkan bahwa ambisi dan tindakan yang tidak memadai dalam mitigasi dan adaptasi iklim mengakibatkan dampak yang signifikan, bahkan bagi negara-negara berpenghasilan tinggi.

"Negara-negara berpenghasilan tinggi dan emisi tinggi harus mengakui urgensi untuk mempercepat upaya mitigasi," kata Penasihat Senior untuk Keuangan dan Investasi Iklim di Germanwatch dan salah satu penulis 2025, David Eckstein.

Eckstein mengatakan selama 30 tahun terakhir, kerugian sebesar 4,2 triliun dolar AS sebanding dengan seluruh PDB Jerman. Ia menambahkan semakin sedikit dunia berinvestasi pada mitigasi dan adaptasi hari ini, semakin besar biaya manusia dan ekonomi di masa depan.

Germanwatch mengatakan Pertemuan Perubahan Iklim PBB (COP30) berikutnya di Brasil harus membahas kurangnya pendanaan iklim untuk mendukung mereka yang paling rentan dalam meningkatkan kapasitas adaptif mereka dan menangani kerugian dan kerusakan secara memadai.

Penasihat Kebijakan untuk Adaptasi dan Kerugian & Kerusakan di Germanwatch dan rekan penulis indeks, Lina Adil, mengatakan negara-negara yang paling rentan terdampak perubahan iklim, sebagian besar karena kemampuan keuangan dan teknis yang terbatas untuk beradaptasi dan mengelola kerugian dan kerusakan (loss and damage).

"Secara bersamaan, untuk mencegah loss and damage lebih lanjut, negara-negara perlu segera meningkatkan tindakan mitigasi mereka dalam rencana iklim yang ditentukan sendiri (NDC) yang baru untuk tetap di bawah atau sedekat mungkin dengan pemanasan 1,5 derajat Celsius," katanya.

Penasihat Senior untuk Adaptasi dan Hak Asasi Manusia Germanwatch Vera Kuenzel mengatakan Indeks Risiko Iklim 2025 dengan jelas jelas menunjukkan semua negara perlu meningkatkan manajemen risiko iklim mereka.

"Agar lebih siap menghadapi cuaca ekstrem dan meminimalkan kerusakan manusia dan ekonomi. Negara-negara yang paling rentan perlu didukung dalam upaya ini," kata Kuenzel.