Kolaborasi untuk revitalisasi transportasi Indonesia

Tahun 2025 membawa persoalan anyar bagi transportasi umum di Indonesia, terlebih dengan berhentinya layanan Bus Rapid ...

Kolaborasi untuk revitalisasi transportasi Indonesia

Jakarta (ANTARA) - Tahun 2025 membawa persoalan anyar bagi transportasi umum di Indonesia, terlebih dengan berhentinya layanan Bus Rapid Transit (BRT) di beberapa kota besar.

Trans Metro Dewata (TMD) di Bali dan Teman Bus Jogja menghentikan operasionalnya pada 1 Januari 2025. Keputusan tersebut berimbas pada kehidupan banyak orang. Di Bali, sekitar 500 pekerja kehilangan pekerjaan dan penumpang yang mengandalkan bus harus mencari alternatif. Di Yogyakarta, penghentian Teman Bus mengganggu mobilitas pelajar dan pekerja yang selama ini bergantung pada transportasi publik yang nyaman dan terjangkau.

Penghentian layanan bus TMD di Bali dan Teman Bus di Yogyakarta terjadi karena berakhirnya subsidi pemerintah pusat. TMD butuh sekitar Rp80 miliar per tahun untuk beroperasi, tapi anggaran APBN 2025 tidak mendukung. Di Yogyakarta, kontrak Teman Bus dengan Kementerian Perhubungan juga tidak diperpanjang.

Masalah ini merupakan cerminan krisis angkutan umum yang luas di Indonesia. Data BPS menunjukkan, lebih dari 141 juta kendaraan di Indonesia pada 2021, hanya 0,2 persen yang berupa bus.

Krisis transportasi di Indonesia diperparah dengan dominasi kendaraan pribadi, khususnya sepeda motor yang mencapai 84,5 persen dari total kendaraan. Pastinya, hal ini berkontribusi pada kemacetan, polusi, dan peningkatan konsumsi bahan bakar minyak (BBM), padahal Indonesia masih mengimpor lebih dari 50 persen kebutuhan BBM nasional.

Penghentian layanan bus kota memantik waswas di masyarakat. Di Bali pada 10 Januari 2025, lebih dari 18.000 orang menandatangani petisi daring, meminta TMD kembali beroperasi. Di Yogyakarta, pengguna setia Teman Bus khawatir ihwal kualitas layanan pengganti yang tidak sebaik sebelumnya.

Perbandingan pangsa

Ketika membandingkan penggunaan angkutan umum di Indonesia dengan negara-negara maju di Asia, perbedaannya kentara. Di kota besar Indonesia, seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya, pangsa penggunaan angkutan umum di bawah 20 persen, bahkan di Surabaya hanya 5 persen. Tentu memprihatinkan jika dibandingkan dengan negara tetangga.

Singapura contoh yang dominan, dengan tingkat kepuasan pengguna transportasi umum mencapai 86 persen. Sistem transportasi publiknya dianggap salah satu yang terbaik di dunia, dengan pangsa penggunaan mencapai 61 persen. Keberhasilan Singapura berakar pada janji pemerintah dalam mengembangkan sistem transportasi yang terintegrasi dan efisien.

Di Jepang, penggunaan transportasi umum, bahkan lebih tinggi dibanding dengan Indonesia. Di kota besar Jepang, lebih dari 50 persen penduduk mengandalkan transportasi umum, dengan 53 persen pelajar dan 48 persen pekerja menggunakan kereta atau subway untuk perjalanan sehari-hari.

Mengapa kesenjangannya begitu besar? Kuncinya ada pada kualitas layanan.

Di Singapura dan Jepang, transportasi umum dikenal tepat waktu, nyaman, dan terintegrasi dengan baik. Sistem ticketing yang efisien; Singapura memakai kartu ez-link, sementara Jepang menggunakan kartu IC, yang memudahkan pengguna berpindah antarmoda transportasi.

Di Indonesia, sekalipun ada cara, seperti pembangunan MRT Jakarta dan TransJakarta, problemnya tetap besar. Ketergantungan pada subsidi pemerintah menyebabkan layanan bus kota, seperti Trans Metro Dewata di Bali dan Teman Bus di Yogyakarta, terpaksa berhenti di awal 2025 lantaran keterbatasan anggaran.

Untuk mengejar ketinggalan ini, Indonesia mesti melakukan transformasi besar-besaran dalam sistem transportasi publik. Pemerintah harus bersungguh-sungguh untuk mengembangkan sistem yang terintegrasi, nyaman, dan andal.

Perubahan budaya dan pola pikir masyarakat dituntut untuk mendorong peralihan dari kendaraan pribadi ke transportasi umum. Bukan soal mengurangi kemacetannya, tapi menciptakan kota yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan.

Umpama Indonesia bisa meningkatkan penggunaan transportasi umum mendekati level Singapura atau Jepang, kemacetan dan polusi udara akan menurun drastis. Hal ini berefek positif pada kualitas hidup masyarakat dan mendukung pertumbuhan ekonomi secara masif.

Krisis transportasi

Krisis transportasi di Indonesia juga berdampak pada perekonomian negara. Satu efek paling terasa adalah peningkatan biaya transportasi yang berimbas pada kenaikan harga barang dan jasa.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan biaya transportasi di kota-kota besar mencapai 12,46 persen dari total biaya hidup masyarakat, jauh di atas standar ideal Bank Dunia yang semestinya di bawah 10 persen.

Kenaikan biaya transportasi tersebut mengurangi daya beli masyarakat, hingga berpengaruh pada sektor logistik. Data dari Bappenas menunjukkan bahwa biaya logistik di Indonesia pada tahun 2023 mencapai 14,29 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), angka yang tinggi dibanding dengan negara tetangga, seperti Singapura dan Malaysia. Tingginya biaya logistik menghambat daya saing produk Indonesia di pasar global.

Kemacetan lalu lintas yang makin parah di kota besar, seperti Jabodetabek, memberi konsekuensi pada perekonomian. Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) Kementerian Perhubungan 2024 memaparkan kerugian ekonomi akibat kemacetan mencapai Rp71,4 triliun per tahun, angka yang meningkat dan cerminan kondisi yang memburuk.

Selain itu, kemacetan juga mengurangi produktivitas pekerja. Di Jakarta, warga kehilangan hingga 174 jam per tahun cuma karena terjebak di jalan. Kehilangan waktu ini berimbas pada output ekonomi secara keseluruhan. Kemacetan juga berarti pemborosan bahan bakar.

Krisis transportasi berimbas negatif pada sektor pariwisata dan investasi. Infrastruktur yang buruk dan sistem transportasi yang tidak efisien menyumbat masuknya investasi asing. Kenyataan ini paradoks dengan usaha pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.

Kebutuhan kolaborasi

Jelas bahwa solusi tidak bisa datang dari satu pihak saja untuk mengatasi krisis transportasi di Indonesia. Kolaborasi antara pemerintah pusat, daerah, dan sektor swasta merupakan kiat mengatasi persoalan ini.

Kolaborasi tersebut, mulai terwujud dalam berbagai proyek, salah satunya adalah pembangunan Stasiun Jatake di Tangerang 2024. Proyek yang merupakan hasil kerja sama antara PT KAI dan PT Bumi Serpong Damai ini merupakan sinergi antara pemerintah dan swasta yang bisa menghasilkan infrastruktur transportasi tanpa bergantung pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Meskipun demikian kolaborasi antara pemerintah dan sektor swasta tidak selalu berjalan mulus. Kasus penghentian layanan Bus Rapid Transit (BRT) mengindikasikan problem dalam pendanaan dan berlanjutnya proyek. Hal ini menyoroti perlunya peran penuh dari pemerintah daerah dan swasta untuk kepastian berlangsungnya layanan transportasi publik.

Untuk mengatasi tantangan transportasi, pemerintah pusat telah memberi subsidi program Buy the Service (BTS) pada beberapa kota tahun 2025, kendati ini hanya sekadar solusi temporer. Karena itu, komitmen jangka panjang dari pemerintah daerah untuk mengalokasikan anggaran bagi transportasi publik sangat dibutuhkan.

Walaupun beberapa daerah berkomitmen membiayai transportasi umum secara mandiri, pemerintah pusat tetap wajib memberi Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk kepastian layanan transportasi yang aman, nyaman, dan terjangkau.

Kolaborasi juga diperluas, dalam hal pendanaan serta pengembangan teknologi dan inovasi. Inisiatif semisal Jakarta Initiative on Sustainable and Intelligent Urban Mobility merespons bagaimana kerja sama antarpemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil bisa mendorong pembangunan transportasi yang cerdas dan berkelanjutan.

Singkat kata, krisis transportasi di Indonesia memerlukan kolaborasi antarpemerintah pusat, daerah, dan sektor swasta. Hanya dengan kerja sama yang solid, Indonesia dapat membangun sistem transportasi yang efisien, terjangkau, dan berkelanjutan untuk menghadapi tantangan masa depan.

*) Heru Wahyudi adalah dosen Prodi Administrasi Negara Universitas Pamulang, pegiat Masyarakat Kebijakan Publik Indonesia (MAKPI) Banten

Copyright © ANTARA 2025