Korban Meninggal Longsor Pekalongan Capai 20 Orang, Pakar ITS Analisis Banyaknya Longsor di Musim Hujan

Hingga memasuki hari ketiga, jumlah korban meninggal akibat bencana longsor Pekalongan bertambah menjadi 20 orang

Korban Meninggal Longsor Pekalongan Capai 20 Orang, Pakar ITS Analisis Banyaknya Longsor di Musim Hujan

TEMPO.CO, Jakarta - Sekretaris Daerah Pemerintah Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah Yulian Akbar menginformasikan hingga memasuki hari ketiga, jumlah korban meninggal dunia akibat bencana tanah longsor di Kecamatan Petungkriono atau  bertambah menjadi 20 orang dari sebelumnya 17 orang."Ya, hingga Rabu siang, ditemukan lagi tiga korban, sehingga berjumlah 20 orang," kata Yulian, seperti dikutip Antara, Rabu, 22 Januari 2025.Menurut dia proses evakuasi dan pencarian korban meninggal dunia masih terus dilakukan meski kondisi cuaca  mendung di lokasi kejadian. “Sehingga kami mengingatkan pada petugas Basarnas maupun sukarelawan agar tetap berhati-hati," kata dia.Yulian berujar pencarian korban masih tetap menggunakan alat manual. Sebab untuk mendatangkan alat berat tidak mungkin dilakukan mengingat akses menuju ke lokasi tertimbun Berdasar informasi warga yang kehilangan keluarganya di Kecamatan Petungkriono disebutkan ada delapan orang, sedangkan yang mengalami luka-luka sebanyak 13 orang.Sementara itu pakar kebencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Amien Nugroho mengatakan tiap musim hujan tiba sejumlah daerah acap kali rentan longsor. Timbulnya tanah longsor itu, kata Amien, tidak lepas dari makin minimnya pepohonan.Awal mulanya, ujar Amien, sebagian besar gunung dibentuk oleh batuan. Kemudian karena iklim dan pohon, batu tersebut berubah jadi tanah. Awalnya pohon berukuran kecil dan terus berusaha mencari nutrisi dari tanah lewat akar. Ujung-ujung akar mengeluarkan enzim untuk melapukkan batuan.“Proses pelapukan akan menyebabkan batuan terurai menjadi ukuran lebih kecil  atau batu berubah menjadi tanah lanau-lempung (berukuran halus < 1 mm),” kata Amien dalam keterangan tertulisnya. Seiring dengan berjalannya waktu,  pohon bertambah besar, akarnya tambah panjang dan tanah ikut menebal. Tanah lereng tidak longsor karena dipegang oleh akar serabut dan akar tunjangnya sebagai angker. “Jadi bila pohon hutan dibabati dijadikan lahan yang lain, maka tanah lereng tidak terlindung sama sekali,” tutur dosen senior Departemen Teknik Geofisika ITS itu.Menurut Amien saat kemarau, biasanya tanah lereng mulai retak-retak dan ambles. Saat musim hujan, air akan masuk retakan dan meresap serta membuat tana jenuh air.  Air jenuh  akan menambah berat tanah lereng dan menurunkan kohesi (daya ikat) tanah di lereng, sehingga tanah akan longsor seperti cairan."Untuk tanah kawasan gunung api umumnya ada batu batu di dalamnya sehingga saat longsor tidak hanya tanah tapi banyak batu batu yang ikut,” kata Amien.Pilihan Editor: