KY Endus Dugaan Pelanggaran Etik Vonis Bebas WNA Cina, Apa Sanksi Hakim Pelanggar Kode Etik?
Komisi Yudisial atau KY mengendus vonis bebas terhadap terdakwa kasus tambang emas ilegal WNA asal Cina, Yu Hao oleh majelis hakim PT Pontianak.
TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Yudisial atau mengendus adanya pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) dalam vonis bebas terhadap terdakwa kasus tambang emas ilegal warga negara asing atau WNA Cina, Yu Hao oleh majelis hakim Pengadilan Tinggi (PT) Pontianak.
Di pengadilan tingkat pertama, terdakwa yang merugikan Indonesia sebesar Rp 1,020 triliun itu divonis 3,6 tahun penjara dan denda Rp 30 miliar. Namun, di tingkat banding, majelis hakim yang terdiri dari hakim Isnur Syamsul Arif, Eko Budi Supriyanto, dan Pransis Sinaga memutuskan Yu Hao tidak terbukti bersalah.
Baca berita dengan sedikit iklan,
Anggota sekaligus juru bicara KY, Mukti Fajar Nur Dewata, mengatakan KY mempersilakan masyarakat untuk melapor jika merasa ada kejanggalan terkait vonis bebas tersebut. Pihaknya akan mendalami kasus vonis bebas terdakwa kasus itu jika menemukan adanya pelanggaran KEPPH oleh hakim yang terlibat dalam putusan.
“Publik dapat melaporkan apabila ada dugaan pelanggaran kode etik hakim disertai dengan bukti pendukung, sehingga nantinya laporan tersebut dapat ditindaklanjuti oleh KY sesuai prosedur yang ada,” kata Mukti Fajar dalam keterangan tertulis, Jumat, 17 Januari 2025.
Membahas soal KEPPH, lantas apa sanksi bagi hakim yang melakukan ?
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) dipaparkan secara rinci dalam Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor: 047/KMA/SKB/IV/2009 – 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
Namun, secara garis besar, KEPPH memuat aturan tentang 10 kewajiban hakim dalam menjalankan tugas dan fungsinya, yaitu: berperilaku adil, berperilaku jujur, berperilaku arif dan bijaksana, bersikap mandiri, berintegritas tinggi, bertanggung jawab, menjunjung tinggi harga diri, berdisiplin tinggi, berperilaku rendah hati, dan bersikap profesional.
Adapun sanksi bagi hakim pelanggar KEPPH diatur secara khusus dalam beleid tersendiri, yakni Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor:02/PB/MA/IX/2012 / 02/PB/P.KY/09/2012 tentang Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
Sanksi hakim berbeda-beda berdasarkan jenisnya, yakni hakim karier, hakim peradilan militer, hakim ad hoc, dan hakim Agung.
Dalam Pasal 19 beleid tersebut, dijelaskan bahwa terdapat tiga sanksi bagi hakim karier pada pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tingkat banding yang melakukan pelanggaran, yaitu sanksi ringan, sanksi sedang, dan sanksi berat.
Sanksi ringan terdiri dari:
- Pernyataan tidak puas secara tertulis.
Sanksi sedang terdiri dari:
- Penundaan kenaikan gaji berkala paling lama satu tahun;
- Penurunan gaji sebesar satu kali kenaikan gaji berkala paling lama satu tahun;
- Penundaan kenaikan pangkat paling lama satu tahun;
- Hakim nonpalu paling lama enam bulan;
- Mutasi ke pengadilan lain dengan kelas yang lebih rendah; atau
- Pembatalan atau penangguhan promosi.
Sedangkan sanksi berat terdiri dari:
- Pembebasan dari jabatan;
- Hakim nonpalu lebih dari enam bulan dan paling lama dua tahun;
- Penurunan pangkat pada pangkat yang setingkat lebih rendah untuk paling lama tiga tahun;
- Pemberhentian tetap dengan hak pensiun; atau
- Pemberhentian tidak dengan hormat.
Sanki hakim peradilan militer
Sementara terhadap hakim di lingkungan peradilan militer, proses penjatuhan sanksi diberikan dengan memperhatikan peraturan disiplin yang berlaku bagi prajurit Tentara Nasional Indonesia.
Sementara tingkat dan jenis sanksi yang berlaku bagi hakim ad hoc terdiri dari sanksi ringan berupa teguran tertulis, sanksi sedang berupa nonpalu paling lama enam bulan, dan sanksi berat berupa pemberhentian dengan hormat atau tidak dengan hormat dari jabatan hakim.
Bagi Hakim Agung, sanksi terdiri dari sanksi ringan berupa teguran tertulis, sanksi sedang berupa nonpalu paling lama enam bulan, dan sanksi berat berupa pemberhentian dengan hormat atau tidak dengan hormat dari jabatan hakim.
Vonis bebas kasus tambang emas ilegal Yu Hao
Kasus Yu Hao terungkap setelah Tim Penyidik PNS (PPNS) Ditjen Minerba menemukan aktivitas tambang emas ilegal di area IUP milik PT BRT dan PT SPM yang tengah dalam masa pemeliharaan. Bersama Bareskrim Polri, Ditjen Minerba berhasil mengamankan WNA Cina itu.
“PPNS Minerba didampingi Korwas PPNS Bareskrim Polri menemukan adanya pemanfaatan tunnel yang saat ini statusnya dalam pemeliharaan dan tak memiliki izin operasi produksi,” kata Direktur Teknik dan Lingkungan Ditjen Minerba Sunindyo Suryoherdadi di kantornya, Tebet, Jakarta Selatan, Sabtu, 11 Mei 2024.
Pada kegiatan yang ada di tambang tersebut, kata dia, Yu Hao itu melakukan produksi yaitu pengambilan bijih emas di lokasi termasuk mengolah dan memurnikan yang dilakukan di terowongan. Hasil pekerjaan pemurnian di tunnel dibawa ke luar lubang dalam bentuk dore/bullion emas.
“Temuan sementara, lubang tambang emas ilegal dengan total panjang 1.648,3 meter dengan volume hitungan sementara 4.467,3 meter persegi,” katanya.
Dalam operasi tambang ilegal tersebut, Yu Hao diduga mengkoordinir lebih dari 80 Tenaga Kerja Asing (TKA) China. Mereka memanfaatkan tunnel yang seharusnya dalam masa pemeliharaan. Penambangan dilakukan termasuk menggunakan bahan peledak dan pemurnian emas di lokasi.
Kementerian ESDM mencatat kerugian negara mencapai Rp 1,020 triliun dari hilangnya cadangan emas sebanyak 774,27 kilogram dan perak 937,7 kilogram akibat pertambangan ilegal itu. Hasil uji sampel menunjukkan kandungan emas yang sangat tinggi, mencapai 337 gram per ton pada sampel batu tergiling.
Di meja hijau Pengadilan Negeri (PN) Ketapang, Jaksa Penuntut Umum atau JPU mendakwa Yu Hao telah melakukan kegiatan penambangan tanpa izin dalam periode Februari 2024 – Mei 2024. Jaksa menuntutnya atas pelanggaran Pasal 158 UU No 3 Tahun 2009 dengan pidana penjara 5 tahun penjara dan denda Rp 50 miliar.
Tak terima atas vonis dirinya, Yu Hao mengajukan banding. Di tingkat kedua inilah majelis hakim Pengadilan Tinggi Pontianak yang terdiri dari hakim Isnur Syamsul Arif, Eko Budi Supriyanto, dan Pransis Sinaga itu menyatakan terdakwa tak terbukti bersalah. Putusan majelis hakim itu dibacakan pada Senin, 13 Januari 2025.
“Menyatakan terdakwa Yu Hao tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penambangan tanpa ijin sebagaimana dalam dakwaan tunggal penuntut umum,” bunyi putusan tersebut.
Jihan Ristiyanti dan Bagus Pribadi berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan Editor: