LPEM FEB UI: Kemiskinan di Indonesia Turun, Ketimpangan Naik
Beberapa daerah di Indonesia menunjukkan tingkat ketimpangan yang tinggi meskipun angka kemiskinan nasional menurun.
TEMPO.CO, Jakarta - Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI) menyayangkan penurunan tingkat di Indonesia tak disertai dengan .
Peneliti LPEM FEB UI, Muhammad Hanri, mengatakan tingkat ketimpangan masih menjadi isu serius di Tanah Air. "Meskipun tren penurunan kemiskinan terus berlangsung, distribusi pendapatan yang tidak merata tetap menjadi masalah serius yang perlu mendapat perhatian," kata Hanri dalam laporan bertajuk "Labor Market Brief" LPEM FEB UI yang dipublikasikan pada 3 Februari 2025.
Hanri mengatakan persentase penduduk miskin di Indonesia adalah sebesar 8,57 persen atau sekitar 24,06 juta orang berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per September 2024. Angka tersebut turun dari 25,22 juta orang pada Maret 2024 dan 25,9 juta orang pada Maret 2023.
Meski begitu, kata Hanri, indikator ketimpangan di Indonesia justru naik. Hanri menggunakan indikator Rasio Gini dari BPS untuk mengukur ketimpangan pendapatan di Indonesia.
Dalam Rasio Gini, nilai 0,0 menunjukkan tingkat pemerataan yang sempurna, sementara nilai 1 mengindikasikan ketimpangan pendapatan. Semakin mendekati 1, maka tingkat ketimpangan pendapatan di suatu wilayah semakin tinggi.
Adapun Gini Ratio Indonesia sebesar 0,381 pada September 2024. Angka tersebut naik sebesar 0,002 poin dibandingkan dengan Maret 2024 sebesar 0,379 meski masih lebih rendah dari Maret 2023 yang mencapai 0,388.
Menurut Hanri, beberapa daerah di Indonesia menunjukkan tingkat ketimpangan yang tinggi. Di antaranya wilayah DKI Jakarta dengan skor Gini 0,431, Jawa Barat dan DI Yogyakarta dengan 0,428, Papua Selatan dengan 0,424, hingga Gorontalo dengan 0,413.
"Kondisi ini mengindikasikan bahwa di wilayah-wilayah tersebut tidak merata, dengan sebagian besar pendapatan terkonsentrasi di kelompok masyarakat tertentu," ucap Hanri.
Kesenjangan itu bisa disebabkan oleh dominasi sektor ekonomi yang masih terbatas pada sektor tertentu. "Misalnya perkebunan dan pertambangan, di mana manfaat ekonomi lebih banyak dinikmati oleh kelompok perusahaan besar daripada pekerja lokal," ujar Hanri.