Pramoedya Ananta Toer dan Peringatan 100 Tahun di Malang, Warisan Sastra yang Tak Tergantikan

Pramoedya Ananta Toer dan Peringatan 100 Tahun di Malang, Warisan Sastra yang Tak Tergantikan. ????Hari ini, dunia sastra Indonesia memperingati 100 tahun kelahiran Pramoedya Ananta Toer, seorang maestro yang karyanya menembus batas zaman. -- Ikuti kami di ????https://bit.ly/392voLE #beritaviral #jawatimur #viral berita #beritaterkini #terpopuler #news #beritajatim #infojatim #newsupdate #FYI #fyp

Pramoedya Ananta Toer dan Peringatan 100 Tahun di Malang, Warisan Sastra yang Tak Tergantikan

Malang (beritajatim.com) – Hari ini, dunia sastra Indonesia memperingati 100 tahun kelahiran Pramoedya Ananta Toer, seorang maestro yang karyanya menembus batas zaman. Sebagai salah satu penulis paling berpengaruh dalam sejarah Indonesia, Pram—begitu ia akrab disapa—telah mengabadikan realitas sosial dan politik bangsa dalam karya-karyanya.

Peringatan ini menjadi momen refleksi bagi para pecinta sastra, termasuk komunitas Sabtu Membaca di Malang yang menggelar acara spesial bersama adik kandung Pram, Soesilo Toer.

Lahir di Blora, Jawa Tengah, pada 6 Februari 1925, Pram tumbuh dalam lingkungan yang membentuk ketajaman berpikirnya. Ia adalah anak sulung dari delapan bersaudara, dengan ayah seorang guru dan ibu seorang pedagang. Meskipun pernah tiga kali tidak naik kelas di sekolah dasar, Pram kecil menunjukkan kecintaan pada sastra.

Pendidikan formalnya sempat terputus akibat pendudukan Jepang. Namun, semangatnya tak pernah pudar. Ia merantau ke Jakarta pada 1942 dan mulai bekerja di Kantor Berita Domei, yang kemudian mempertemukannya dengan dunia kepenulisan.

Pram sempat menjadi tahanan politik selama 14 tahun, termasuk 10 tahun di Pulau Buru, pasca-G30S 1965. Meski dilarang menulis, ia tetap berkarya dengan mendiktekan kisahnya kepada sesama tahanan. Dari pengasingan inilah lahir Tetralogi Pulau Buru, yang kemudian menjadi mahakarya dalam sastra Indonesia.

Karya-Karya Pramoedya Ananta Toer yang Mendunia

Sebagai penulis produktif, Pram melahirkan banyak karya besar, di antaranya:

Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca (Tetralogi Pulau Buru), Kisah perjuangan Minke menghadapi kolonialisme.

Gadis Pantai, Novel yang mengangkat isu ketidakadilan gender dalam tradisi feodal.

Arus Balik – Sebuah epik tentang perlawanan Nusantara terhadap kolonialisme.

Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, Memoar tentang kehidupannya sebagai tahanan politik.

Karya-karyanya diterjemahkan ke berbagai bahasa dan mendapat apresiasi luas di dunia internasional. Pram bahkan enam kali diusulkan sebagai kandidat peraih Nobel Sastra, sebuah pencapaian luar biasa bagi seorang penulis Indonesia.

Untuk mengenang 100 tahun sang maestro, Komunitas Sabtu Membaca di Malang mengadakan diskusi dan pembacaan karya-karya Pram, yang dihadiri oleh Soesilo Toer, adiknya. Soesilo menegaskan bahwa keistimewaan Pram terletak pada kemampuannya menggabungkan realitas dan fiksi dalam setiap tulisannya.

“Pram tidak hanya mencatat sejarah, tetapi juga mengemasnya dalam narasi yang kuat dan menggugah,” ungkap, pada beberapa waktu lalu.

Ia juga mengungkapkan bahwa Pram sebenarnya tidak menginginkan Nobel, karena bagi Pram, yang lebih penting adalah menyuarakan realitas sosial. “Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji, dan kecurangan. Duniaku adalah bumi manusia dan persoalannya,” kata Soesilo, mengutip pemikiran kakaknya.

Pramoedya Ananta Toer meninggal pada 30 April 2006, tetapi warisannya tetap hidup. Ia bukan sekadar penulis, tetapi seorang saksi sejarah yang tak gentar melawan ketidakadilan. Lewat karyanya, ia membuktikan bahwa sastra adalah senjata perlawanan dan alat untuk mengungkap realitas yang sering ditutupi.

Peringatan 100 tahun Pram bukan hanya perayaan, tetapi juga pengingat bahwa perjuangannya belum selesai. Di tengah dinamika politik dan sosial Indonesia saat ini, karya-karya Pram tetap relevan dan menjadi inspirasi bagi generasi baru.

Peringatan 100 tahun Pramoedya Ananta Toer di Malang menjadi momentum penting bagi dunia sastra Indonesia. Pram bukan hanya seorang penulis, tetapi juga seorang pejuang yang menyuarakan ketidakadilan melalui kata-katanya. Warisan Pram akan terus hidup, menginspirasi, dan menjadi bagian dari perjalanan bangsa ini.

“Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan.” – Pramoedya Ananta Toer. (dan/kun)