Wakil Rektor 1 UB Soroti Wacana Kampus Kelola Tambang: Harus Dihitung Secara Cermat

Wakil Rektor 1 UB Soroti Wacana Kampus Kelola Tambang: Harus Dihitung Secara Cermat. ????Wacana pemberian WIUP kepada perguruan tinggi memicu perdebatan di kalangan akademisi. DPR RI mengusulkan agar kampus dapat mengelola tambang. -- Ikuti kami di ????https://bit.ly/392voLE #beritaviral #jawatimur #viral berita #beritaterkini #terpopuler #news #beritajatim #infojatim #newsupdate #FYI #fyp

Wakil Rektor 1 UB Soroti Wacana Kampus Kelola Tambang: Harus Dihitung Secara Cermat

Malang (beritajatim.com) – Wacana pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) kepada perguruan tinggi memicu perdebatan di kalangan akademisi. DPR RI mengusulkan agar kampus dapat mengelola tambang sebagai sumber pemasukan tambahan. Namun, kebijakan ini menimbulkan pro dan kontra, terutama terkait dengan kapasitas perguruan tinggi dalam menjalankan bisnis pertambangan serta dampak akademiknya.

Salah satu suara kritis datang dari Wakil Rektor Bidang Akademik Universitas Brawijaya (UB), Prof. Dr. Ir. Imam Santoso, MP. Menurutnya, kebijakan ini harus dihitung secara matang agar tidak mengorbankan fungsi utama kampus sebagai lembaga pendidikan dan riset.

Prof. Imam menekankan bahwa sebelum kampus diberikan izin untuk mengelola tambang. Lebih lanjutnya, menurutnya harus ada pertimbangan yang menyeluruh terkait kepentingan akademik dan kepentingan finansial.

“Harus dihitung antara kepentingan perguruan tinggi di satu sisi dan kepentingan untuk mendapatkan income di sisi lain. Jangan sampai energi kita habis mengurus sesuatu yang di luar kompetensi perguruan tinggi,” ujarnya pada beritajatim.com.

Menurutnya, meskipun perguruan tinggi membutuhkan pemasukan tambahan untuk mendukung operasional dan riset. Namun, jangan sampai keuntungan ekonomi justru mengorbankan nilai-nilai akademik serta Tridharma Perguruan Tinggi, yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.

Lebih lanjut, Prof. Imam menyoroti bahwa sebagian besar perguruan tinggi di Indonesia tidak memiliki pengalaman dalam industri tambang. “Mungkin ada satu atau dua orang yang ahli, tetapi secara agregatif, perguruan tinggi belum memiliki pengalaman yang cukup untuk mengelola industri tambang,” jelasnya.

Prof Imam memandang bahwa industri pertambangan memerlukan alokasi sumber daya yang besar, baik dari segi pendanaan, tenaga ahli, hingga infrastruktur yang memadai. Tanpa perhitungan yang matang, kampus justru bisa terbebani dengan tanggung jawab yang berada di luar kapasitasnya.

Terkait rencana ini, Universitas Brawijaya (UB) belum melakukan diskusi internal mengenai kemungkinan keterlibatan dalam bisnis pertambangan. Namun, Prof. Imam menyebut bahwa UB memiliki beberapa program studi yang relevan, seperti Teknik Geofisika, yang bisa berkontribusi dalam riset atau kerja sama dengan industri tambang.

“Di UB, kita punya Teknik Geofisika dan ada dosen-dosen yang berkaitan dengan bidang ini. Bisa saja ke depannya ada pemanfaatan untuk tempat praktik atau riset, tapi bukan berarti langsung terjun mengelola tambang,” paparnya.

Prof. Imam menegaskan bahwa sebelum kampus diberikan izin usaha pertambangan, harus ada kajian yang lebih mendalam. Semua aspek, mulai dari manfaat, risiko, alokasi waktu, hingga sumber daya keuangan, harus diperhitungkan dengan cermat agar tidak menjadi beban bagi perguruan tinggi. (dan/kun)