Panglima TNI Siap Gunakan Drone AI, Berikut Sejarah Penggunaan Pesawat Tanpa Awak di Militer
Panglima TNI Agus Subiyanto sebut pihaknya akan mengubah doktrin peperangan dengan menggunakan drone AI. Ini sejarah pesawat tanpa awak di militer.
TEMPO.CO, Jakarta - Penggunaan drone berbasis kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) dalam dunia militer mulai marak dalam beberapa waktu terakhir. Jenderal TNI Agus Subiyanto mengatakan pihaknya akan mengubah doktrin peperangan di tubuh institusinya menggunakan teknologi mutakhir tersebut.
“Misalnya, kalau dulu kan perang itu masih tradisional, sekarang kan menggunakan (pesawat nirawak, red) yang kami Kamikaze pakai AI, membunuh orang itu tinggal pakai saja drone untuk mengejar seseorang,” ujar Agus Subiyanto, dikutip dari Antara.
Baca berita dengan sedikit iklan,
Pernyataan itu diutarakannya dalam jumpa pers usai menggelar rapat pimpinan di Markas Besar atau Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, pada Jumat, 31 Januari 2024. Hal ini, kata dia, harus dilakukan agar taktik peperangan dan seluruh perangkat SDM serta teknologi yang dimiliki TNI mengikuti perkembangan zaman.
Dilansir dari Army.mil, bagi militer, drone atau yang lebih umum disebut sebagai unmanned aerial vehicle atau UAV — pesawat udara tak berawak, terbang secara strategis di atas medan perang dan sekitarnya untuk digunakan dalam pengawasan dan pengintaian, dukungan tempur, perlindungan pasukan, peperangan elektronik, serangan presisi, pelatihan dan pengujian.
Dalam perjalanannya, UAV berevolusi dari alat pengintaian dasar menjadi senjata serbaguna dan mematikan selama beberapa dekade, dengan kemajuan signifikan pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21. Efektivitasnya pun kian meningkat, mulai dari kecerdasan kelompok hingga otomatisasi, seiring penyematan AI pada teknologi tersebut.
Pada 2023, beberapa negara sudah berlomba untuk memanfaatkan kekuatan otomatisasi pada drone. Termasuk militer Amerika Serikat, mereka mengembangkan Valkyrie sebagai prototipe pertama drone yang sepenuhnya dioperasikan oleh AI. Otomatisasi juga sudah diterapkan dalam konflik di Ukraina, Rusia diduga menggunakan amunisi Kalashnikov ZALA Aero KUB-BLA yang dilengkapi AI.
Sejarah drone untuk kemiliteran
Dilansir dari Army.mil, konsep pertama kali ditemukan di Prancis pada awal abad ke-18 dengan munculnya balon udara, yang tidak memerlukan pilot manusia. Konsep ini kemudian digunakan militer Austria untuk mengepung Venesia pada 1849 lewat pengeboman udara, tapi kurang efektif.
Konsep serupa juga digunakan oleh militer AS selama Perang Dunia I. Kala itu yang dipakai adalah pesawat biplan tanpa pilot, Kettering Bug, yang dirancang oleh Charles F. Kettering dari Dayton, Ohio dan dikembangkan Korps Sinyal Angkatan Darat AS. Perangkat yang disebut-sebut sebagai model paling awal UAV itu digunakan untuk mengirimkan bahan peledak ke target musuh.
Saat itu, dewan pesawat Angkatan Darat AS, pada 1917, menugaskan Kettering untuk merancang senjata yang dapat menyerang posisi musuh dari jarak jauh tanpa membahayakan nyawa pilot manusia. Kettering lalu menciptakan torpedo udara tak berawak, yang dijuluki “Bug”. Perangkat ini diluncurkan dari kereta beroda empat yang melaju di jalur portabel, dengan sistem kontrol pneumatik dan listrik internal.
Desain Kettering, yang sebelumnya disebut “Torpedo Udara Kettering,” kemudian dikenal sebagai Kettering Bug. Mesin terbang itu mampu menyerang target darat hingga 75 mil dari titik peluncurannya dengan kecepatan 50 mil per jam. Meskipun keberhasilannya cukup baik, namun tidak pernah digunakan dalam pertempuran karena masalah keandalan. Hingga perang berakhir, hanya 45 perangkat yang diproduksi.
Pada Perang Dunia II, konsep pesawat tanpa awak kembali digunakan. Perangkat tersebut berupa pesawat kecil yang dikendalikan radio yang dirancang oleh insinyur Walter Righter. Model ini dikembangkan lebih lanjut sebagai Radioplane OQ-2 oleh aktor dan penemu Reginald Denny, menjadi UAV pertama yang diproduksi secara massal pada awal 1940-an.
Awalnya Radioplane OQ-2 ditujukan untuk digunakan sebagai pesawat nirawak target untuk melatih penembak antipesawat selama perang. Pesawat sederhana ini, yang ditenagai oleh mesin piston dua silinder dua siklus, menghasilkan serangkaian varian serupa selama perang dengan hampir 15.000 pesawat nirawak Radioplane yang diproduksi.
Selama era Perang Dingin, konsep UAV terus dikembangkan. Salah satunya, Ryan Firebee, pesawat nirawak target udara bertenaga jet berkecepatan tinggi. Perangkat ini digunakan untuk pengintaian dan latihan target, menandai pergeseran ke arah UAV yang lebih canggih, yang mampu bertahan dalam penerbangan yang lebih lama dan membawa berbagai sensor pengumpulan intelijen.
Pada 1980-an, Israel berhasil membuat pesawat nirawak Scout, bernama RQ-2 Pioneer Israel. Ini adalah sebuah UAV kecil yang sulit ditembak jatuh yang dapat mengirimkan gambar video waktu nyata melalui kamera televisi di menara pusatnya. Kala itu, militer AS membeli sebanyak 20 pesawat tanpa awak tersebut. Menjadi UAV kecil murah pertama dalam pasukan militer Amerika modern.
Kemajuan signifikan dalam teknologi pesawat nirawak berlanjut hingga 1990-an, khususnya dengan pengembangan RQ-1 Predator, oleh General Atomics Aeronautical Systems, yang mampu terbang di atas wilayah berbahaya untuk waktu yang lama. Awalnya dirancang untuk pengintaian, Predator dilengkapi dengan kemampuan pengawasan, dan pengenalan tautan komunikasi satelit memungkinkan piloting dan transmisi data waktu nyata dalam jarak jauh.
Pada 2002, RQ-1 Predator dipasangi rudal AGM-114 Hellfire, mengubahnya menjadi MQ-1 Predator, yang mampu melakukan serangan presisi. Penggunaannya memainkan peran penting dalam serangan terarah di zona konflik seperti Afghanistan, Irak, dan Pakistan selama Perang Global Melawan Teror.
Namun, mungkin salah satu drone militer yang paling dikenal luas adalah MQ-9 Reaper, yang dikenal karena daya tahannya yang lama, operasi di ketinggian tinggi, dan kemampuannya membawa berbagai senjata. Reaper adalah versi MQ-1 Predator yang lebih besar dan lebih bersenjata lengkap dan sering disebut sebagai drone pemburu-pembunuh.
Setelah MQ-9 Reaper, ada pula UAV baru bernama RQ-Global Hawk. Sementara peran Predator adalah untuk fokus pada target dan memberikan kesadaran situasional bagi pilot, RQ-Global Hawk menyediakan pengawasan sistematis yang jauh lebih luas menggunakan radar aperture sintetis resolusi tinggi dan sensor elektro-optik/inframerah jarak jauh.
Hawk, secara teknis merupakan pesawat tanpa awak yang dilengkapi untuk operasi yang aman dan efisien tanpa campur tangan manusia langsung di dalam atau di atas pesawat — dapat melayang di ketinggian 60.000 kaki di atas area target untuk jangka waktu yang lama (lebih dari 30 jam), dalam segala jenis cuaca, dan dapat mengamati hingga 100 ribu kilometer persegi sehari.
Adapula RQ-11 Raven, yang diproduksi oleh AeroVironment, Inc. Ini adalah UAS kecil, portabel, dan mobilitas tinggi terutama untuk operasi militer seperti pengintaian ketinggian rendah, pengawasan, dan operasi otonom, serta dilengkapi dengan tiga kamera inframerah. Perangkat ini memiliki waktu terbang 80 menit dan jangkauan efektif sekitar 10 kilometer dan bahkan dapat beroperasi sendiri.
Sebagai tanda perubahan zaman, pada 2008, New York Air National Guard 174th Attack Wing menjadi unit tempur pertama yang beralih ke pertempuran tanpa awak sepenuhnya, mengganti kokpit F-16 mereka dengan trailer ber-AC di padang pasir, tempat mereka mengemudikan MQ-9 Reaper dari jarak jauh.
Novali Panji Nugroho berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan Editor: