Pembongkaran Pagar Laut Tangerang, Berikut Deretan Kendalanya

Seperti halnya langkah besar lainnya, pembongkaran pagar laut ini menghadapi sejumlah kendala yang perlu diatasi agar pelaksanaan lebih efektif.

Pembongkaran Pagar Laut Tangerang, Berikut Deretan Kendalanya

TEMPO.CO, Jakarta - TNI Angkatan Laut (TNI AL) kembali melanjutkan pembongkaran di pesisir Pantai Tanjung Pasir, Tangerang, Banten, pada Rabu, 22 Januari 2025. TNI AL menargetkan pembongkaran sepanjang lima kilometer, meningkat signifikan dari capaian sebelumnya yang hanya 2,5 kilometer.

Komandan Pangkalan Utama TNI AL (Danlantamal) III Jakarta Brigen TNI Harry Indarto mengatakan hari ini TNI AL bersama personel gabungan melakukan pembongkaran di dua titik. "Sepanjang 5 kilometer di sini ya (Tanjung Pasir). Pelaksanaan pembongkaran pagar hari ini di sini dan Kronjo," kata Harry di Pantai Tanjung Pasir, Rabu pagi, 22 Januari 2025.

Menurut Harry, ada sejumlah evaluasi agar pelaksanaan pembongkaran pagar laut hari ini bisa lebih efisien. Salah satunya penggunaan kapal. Pada Sabtu, 18 Desember 2025, pembongkaran menggunakan dua unit tug boat yang terkendala laut yang dangkal.

Namun, seperti halnya proyek besar lainnya, pembongkaran pagar laut ini menghadapi sejumlah kendala yang perlu diatasi agar pelaksanaan lebih efektif. Berikut adalah beberapa tantangan utama yang dihadapi dalam proses pembongkaran tersebut:

1. Kondisi Laut yang Dangkal dan Dinamis
Sebagian besar area pembongkaran berada di perairan dangkal yang menyulitkan penggunaan kapal-kapal besar seperti tugboat. Hal ini membuat TNI AL harus menggunakan kendaraan alternatif, termasuk tank amfibi, untuk mempermudah pencabutan bilah pagar. Selain itu, dasar laut yang berlumpur dan tidak stabil sering kali mempersulit penempatan alat berat, sehingga operasi memakan waktu lebih lama dari yang direncanakan.

2. Cuaca yang Tidak Dapat Diprediksi
Operasi di wilayah pesisir menghadapi tantangan besar berupa perubahan cuaca yang tiba-tiba. Angin kencang dan gelombang tinggi sering kali menghambat aktivitas di laut. Meskipun pembongkaran dijadwalkan selesai hingga sore hari, kondisi cuaca yang buruk memaksa personel di lapangan untuk menghentikan operasi lebih awal demi keselamatan.

3. Keterbatasan Logistik dan Anggaran
Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono, mengakui bahwa pembongkaran ini dilakukan dengan anggaran terbatas karena tidak direncanakan dalam anggaran tahunan. Logistik operasional, termasuk transportasi alat berat dan kebutuhan konsumsi bagi ribuan personel, menjadi tantangan besar. Akibatnya, operasi harus dilakukan dengan efisiensi maksimum agar tetap berjalan meski sumber daya terbatas.

4. Keberadaan Sertifikat HGB dan SHM
sepanjang 30,16 kilometer di Tangerang ternyata telah memiliki Hak Guna Bangunan (HGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM), mencakup 263 bidang tanah. Hal ini mempersulit pembongkaran karena adanya klaim legal dari pemilik, termasuk perusahaan besar seperti PT Intan Agung Makmur dan PT Cahaya Inti Sentosa, serta individu.

5. Konflik Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
Sertifikat tersebut diterbitkan setelah Perda Nomor 1 Tahun 2023 tentang RTRW Banten 2023–2043 disahkan. Kepala Kantor Pertanahan Tangerang menyatakan area ini masuk zona permukiman, tetapi Dinas Kelautan dan Perikanan Banten menyebut area tersebut merupakan zona perikanan tangkap, budidaya, dan wilayah kerja migas. 

6. Potensi Cacat Hukum Sertifikat
Menteri ATR/BPN Nusron Wahid menyatakan bahwa jika ditemukan cacat material, prosedural, atau hukum dalam sertifikat tersebut, maka sertifikat bisa dibatalkan sesuai PP Nomor 18 Tahun 2021 tanpa melalui pengadilan, selama usianya belum mencapai lima tahun. Proses evaluasi ini memerlukan waktu dan memastikan keabsahan setiap bidang tanah.

Hammam Izzuddin, Dede Leni Mardianti, Linda Lestari dan Natau Lasniroha Sinaga turut berkontribusi dalam penulisan artikel ini.