Pernah Dipergoki Istri, Pimpinan Ponpes di Jakarta Timur Tetap Cabuli Santrinya, Beraksi 5 Tahun
CH (47) pimpinan pondok pesantren di Jakarta Timur jadi tersangka pencabulan santri. Tetap beraksi padahal sudah dipergoki sang istri.
TRIBUNNEWS.COM - Aksi seorang pimpinan pondok pesantren di Kecamatan Duren Sawit, , berinisial CH (47), bikin geleng-geleng kepala keheranan.
Pasalnya, CH tega mencabuli sejumlah laki-laki ponpesnya dalam kurun waktu bertahun-tahun lamanya.
Mirisnya, tersebut masih tetap melanjutkan aksi bejatnya itu meski sudah dipergoki sang istri dan kerabatnya.
"Anehnya sudah beberapa kali kepergok oleh istrinya dan juga saudaranya," kata Kapolres Metro , saat memberi keterangan di Mapolres Metro , Selasa (21/1/2025), dilansir dari TribunJakarta.com.
Kala itu, istri dan kerabat CH sebenarnya sudah memperingatkan agar tersangka tidak kembali melakukan ulahnya, namun pria berusia 47 tahun itu tetap mencabuli sejumlah di rumahnya dan ruang pimpinan.
CH melakukan aksinya di rumah yang masih berada di area ponpes saat istrinya sedang tidak berada di rumah, dan di ruang pribadi .
"Tapi masih tetap dan tetap dilakukan pimpinan pondok pesantren ini. Tersangka memberikan uang kepada korban dan mengancam tidak memberitahukan kejadian kepada siapapun," sebut Nicolas.
Baca juga:
Modus Pencabulan Pimpinan Ponpes
CH melancarkan aksi bejatnya terhadap para nya sejak tahun 2019 hingga 2024. Dengan dua korban yang sudah melapor yakni MFR (17) dan RN (17).
Nicolas mengungkapkan bahwa modus CH dalam mencabuli para nya yakni dengan menggunakan tipu daya dan meminta korban memijat.
Berdasarkan hasil penyidikan, diketahui bahwa CH berdalih mencabuli agar penyakit dalam tubuh tersangka keluar.
"Setelah terpuaskan nafsunya, maka penyakit yang ada di dalam tubuh tersangka akan keluar. Tersangka akan sembuh," sebut Nicolas.
Tipu daya mengeluarkan penyakit dari dalam tubuh ini selalu disampaikan CH saat mencabuli para di rumahnya yang masih berada dalam satu area dengan ponpes.
CH juga mencabuli di ruang yang akses masuknya hanya dimiliki tersangka, sehingga ulahnya luput dari pengawasan para pengurus lainnya.
"Itu (tipu daya) yang selalu disampaikan kepada korban. Setelah melakukan tersangka juga memberikan uang, dan mengancam korban tidak boleh memberitahukan kejadian," jelas Nicolas.