Pramono Tentang Pergub Poligami, Ini Respons Pj Gubernur Jakarta
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jakarta telah resmi menetapkan Peraturan Gubernur (Pergub) Jakarta Nomor 2 Tahun 2025 tentang Tata Cara Pemberian Izin Perkawinan dan Perceraian. Namun, poin yang...
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jakarta telah resmi menetapkan Peraturan Gubernur (Pergub) Jakarta Nomor 2 Tahun 2025 tentang Tata Cara Pemberian Izin Perkawinan dan Perceraian. Namun, poin yang memperbolehkan seorang aparatur sipil negara (ASN) berpoligami dalam pergub itu mendapat sorotan publik.
Penjabat (Pj) Gubernur Jakarta Teguh Setyabudi menegaskan bahwa aturan itu dibuat bukan untuk memfasilitasi ASN melakukan atau beristri lebih dari satu. Sebaliknya, regulasi itu dibuat untuk memperketat syarat bagi ASN yang ingin berpoligami.
"Sebenarnya semangatnya sama ya. Pram menegaskan bahwa penganut monogami, saya pun demikian juga," kata dia di hadapan gubernur terpilih Jakarta Pramono Anung, yang menentang pergub tersebut, saat mengunjungi Balai Kota Jakarta, Selasa (4/2/2025).
Karena itu, dalam pergub itu aturan untuk ASN yang hendak berpoligami diperketat. Bahkan, persyaratan untuk melakukan poligami dibuat menjadi sangat sulit.
Menurut Teguh, Pergub Jakarta Nomor 2 Tahun 2025 itu dibuat dengan mengacu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Artinya, pergub itu tidak boleh bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi.
"Jadi semangatnya sama. Pak Pram menganut monogami, saya juga, kemudian juga sulit untuk berpoligami. Kalau ada poligami di luar ketentuan yang memang sedemikian sulit, pastinya akan dapat sanksi-sanksi yang lebih berat, dipecat dan sebagainya," kata dia.
Sebelumnya, Pramono mengingatkan para ASN di Pemprov Jakarta agar tidak berpikir untuk berpoligami di masa kepemimpinannya mendatang. Ia mengaku tidak mau anak buahnya memiliki istri lebih dari satu atau berpoligami.
"Saya penganut monogami dan bagi saya ASN di Jakarta jangan pernah berpikir mendapatkan poligami di era saya," kata Pramono, Sabtu (1/2/2025).
Ia pun siap memberikan sanksi berupa penecatan apabila ada ASN di Jakarta yang berpoligami. Larangan itu akan berlaku selama dirinya menjabat sebagai Gubernur Jakarta.
"Ya enggak diizinkan. Kalau enggak diizinkan dilanggar kan dipecat," ujar Pramono.
Diketahui, izin untuk ASN berpoligami diatur dalam Pasal 4 dan 5 Pergub Jakarta Nomor 2 Tahun 2025. Dalam Pasal 4 disebutkan:
(1) Pegawai ASN pria yang akan beristri lebih dari seorang, wajib memperoleh izin dari Pejabat yang Berwenang sebelum melangsungkan Perkawinan.
(2) Pegawai ASN yang tidak melakukan kewajiban memperoleh izin dari Pejabat yang Berwenang sebelum melangsungkan Perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijatuhi salah satu jenis hukuman disiplin berat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Dalam hal ditemukan alasan yang meringankan atau memberatkan bagi Pegawai ASN sebagaimana dimaksud pada ayat (2), hukuman disiplin dijatuhkan berdasarkan hasil pemeriksaan dengan mempertimbangkan dampak pelanggaran.
Sementara dalam Pasal 5 disebutkan:
(1) Izin beristri lebih dari seorang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dapat diberikan apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. alasan yang mendasari Perkawinan:
1. istri tidak dapat menjalankan kewajibannya;
2. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; atau
3. istri tidak dapat melahirkan keturunan setelah 10 (sepuluh) tahun Perkawinan;
b. mendapat persetujuan istri atau para istri secara tertulis;
c. mempunyai Penghasilan yang cukup untuk membiayai para istri dan para Anak;
d. sanggup berlaku adil terhadap para istri dan para Anak;
e. tidak mengganggu tugas kedinasan; dan
f. memiliki putusan pengadilan mengenai izin beristri lebih dari seorang.
(2) Izin beristri lebih dari seorang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) tidak dapat diberikan apabila:
a. bertentangan dengan ajaran/peraturan agama yang dianut Pegawai ASN yang bersangkutan;
b. tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
c. bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
d. alasan yang dikemukakan bertentangan dengan akal sehat; dan/atau
e. mengganggu pelaksanaan tugas kedinasan.